Kamis, 25 Desember 2008

WAYANG, DEWA RUCI, DAN KELIR VIDEO

1. Pengantar
Menurut Koentjaraningrat (1984, dalam Kasidi, 2006:3), pada dasarnya dinamika kehidupan manusia merupakan fenomena awal adanya perubahan budaya manusia. Kebudayaan memiliki kecenderungan untuk berubah. Kebudayaan itu sebenarnya mempunyai ciri, salah satunya yaitu sebagai endapan berbagai perilaku manusia dalam menghadapi dinamika kehidupan sosialnya sehari-hari. Dari peristiwa itu menghasilkan kegiatan berpikir yang berguna bagi kemajuan ilmu pengetahuan, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan materi, sistem dalam kegiatan kemasyarakatan, dan pembentukan karakter masyarakat.
Budaya masyarakat tradisional Jawa, pada dasarnya merupakan suatu bentuk budaya yang memiliki unsur-unsur terkait antara yang satu dengan yang lainnya, dalam budaya Jawa disebut dengan manunggaling Kawula Gusti (kesatuan makhluk dengan Tuhan). Seni, dalam hal ini seni pertunjukan, selama ini mempunyai banyak fungsi. Fungsi-fungsi ini oleh Soedarsono (2002:123) dikelompokkan berdasarkan kepentingan audience atau penontonnya ke dalam tiga fungsi primer, yaitu 1) sebagai sarana ritual, 2) sebagai hiburan pribadi, dan 3) sebagai presentasi estetis. Ketiga wilayah yang dipilahkan demikian ini tidak tersekat mutlak, tetapi seringkali bertumpang tindih. Misalnya, seni pertunjukan yang disajikan untuk kepentingan ritual juga menampilkan nilai-nilai estetis atau seni pertunjukan yang ditampilkan untuk hiburan pribadi juga tidak lepas dari keindahan yang membalutnya wujudnya.
Kenyataan bahwa seni pertunjukan tradisional sudah ada dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia tidak bisa dipungkiri. Seni pertunjukan di masa lalu telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat yang masih berpegang pada aturan adat dan tradisi, baik dalam tata hubungan horisontal (dengan sesamanya) mau pun vertikal (dengan hal supernatural). Kegiatan kesenian semacam ini masih kuat dinapasi oleh unsur ritual, sehingga dengan keadaan seperti itu seni pertunjukan menjadi hidup dan dibutuhkan.
Bonislaw Manilowski mengatakan bahwa asal-usul kebudayaan adalah dari organisasi ekonomi yang mempunyai tugas untuk memenuhi kebutuhan organisasinya tersebut. Dikatakannya juga bahwa terbentuknya kebudayaan, termasuk kebudayaan baru, adalah karena manusia dihadapkan dengan persoalan yang meminta pemecahan dan penyelesaian untuknya. Seni tradisional tumbuh dan berkembang serta dibutuhkan oleh dan untuk masyarakat pendukungnya, maka dalam gerak hidupnya, ia berjalan bersama pertumbuhan masyarakatnya. Jadi, tradisi yang tidak mampu berkembang adalah tradisi yang menyalahi fitrah hidupnya.
Pada masa mutakhir ini, banyak kita temui kelompok seni tradisi yang megap-megap dalam hidupnya yang beriringan dengan era modern dan global ini. Keadaan ini lebih terlihat ketika kesadaran masyarakatnya untuk mendapatkan pendidikan meningkat—masyarakat terdidik cenderung untuk mencari bentuk-bentuk yang berbeda dan baru dengan bentuk sebelumnya—. Perubahan fungsi dan bentuk seni pertunjukan tradisi terjadi, dan ini adalah fenomena perubahan kebudayaan. Makin gencarnya program-program modernisasi di berbagai bidang ‘memaksa’ seni pertunjukan tradisi untuk mengintegrasikan diri ke dalamnya. Seperti telah menjadi hukum alam.
Begitu pula yang terjadi dalam kesenian wayang. Sebagai bentuk kesenian tradisi yang terbilang mempunyai masyarakat pendukung yang banyak dan dari berbagai lapisan sosial, wayang juga mempunyai ‘konsekuensi’ untuk selalu menyesuaikan diri dengan keinginan dan selera masyarakat. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, masyarakat pendukung seni wayang kebanyakan cenderung untuk mencari bentuk-bentuk yang berbeda dan baru dengan bentuk sebelumnya.

2. Fenomena Mutakhir dalam Wayang
Di Indonesia, khususnya Jawa, wayang merupakan tradisi dan budaya yang telah mendasari dan berperan besar dalam membentuk karakter dan eksistensi bangsa Indonesia. Hal itu menunjukkan betapa lekatnya cerita pewayangan pada masyarakat Jawa sehingga begitu berpengaruh pada kepribadian masyarakatnya. Wayang mengetengahkan norma-norma dan nilai-nilai yang dapat menjaga kesinambungan pembangunan moral bangsa. Kejernihan mencerna wayang diharapkan mampu membangunkan kearifan yang banyak tertumpang oleh kepentingan individu atau kelompok.
Wayang yang mengingatkan nilai-nilai moral melalui tema yang membingkainya tidak sedikit disisipkan cerita, baik berupa mitos, legenda, atau babad. Kearifan yang selayaknya diteladani atau sebaliknya tabu yang harus dihindari oleh masyarakat berulangkali ditampilkan melalui wayang, terutama yang berpola dan berakar tradisi. Wayang menjadi kepanjangan norma serta nilai yang diharapkan oleh masyarakat. Ia juga mampu menjaga kebersamaan dalam bermasyarakat apabila ditempatkan sebagai savety valve atau katup pengaman ketegangan dan peredam dorongan-dorongan agresif ketika seseorang berada dalam konflik.
Kebutuhan manusia untuk mendapatkan fungsi estetis dari kesenian dan pentingnya keberadaan wayang sebagai media penyampai nilai moral memerlukan manunggaling, kebersatuan antara keduanya. Masing-masing harus melakukan tindakan yang mampu menjaga hubungan antarkeduanya tetap terjaga. Orang masih mau menonton wayang, wayang selalu berusaha menyajikan yang terbaik.
Seringkali, masyarakat harus menyediakan waktu yang cukup lama (satu malam suntuk) untuk menikmati cerita wayang yang digelar secara utuh. Masyarakat terdidik mutakhir ini merasa berat (tidak cukup punya banyak waktu) untuk menikmatinya secara utuh. Sebaliknya, cerita-cerita wayang yang digelar apabila tidak diperhatikan secara utuh, maka penyampaian nilai-nilai moralnya pun tidak utuh. Untuk itulah, dalang Ki Manteb Soedharsono mempunyai cara yang jitu untuk permasalahan di atas.

3. Dewa Ruci dalam Kemasan Video
Ki Manteb memadatkan cerita yang dia bawakan tidak sampai harus meluangkan waktu semalaman untuk menontonnya. Contoh nyatanya ada pada pergelaran lakon Dewa Ruci. Lakon wayang Dewa Ruci dalam pakeliran padat (hanya satu jam) dikemas dalam bentuk video compact disc (VCD). Ki Manteb sebagai seorang dalang telah mampu menyampaikan pesan moral yang tersirat pada lakon tanpa harus menjalankan wayangnya semalam suntuk. Di samping itu, penonton pun masih mampu mencerna cerita yang disajikan secara utuh, dari awal cerita hingga akhir. Terlebih, dalam versi video ini terlihat sangat dinamis, penuh gerak, dan kesan dramatisnya kuat dari adegan ke adegan lain.
Bratasena (nama kecil Werkudara atau Bima), satu dari lima Satria Pandawa, hendak mencari hal-ikhwal mendiang orangtuanya, Prabu Pandu Dewanata dan Dewi Madrim (ibu angkat), yang oleh dewa dimasukkan ke kawah yang mematikan, yakni Kawah Candradimuka. Atas nasihat gurunya, Rsi Durna, Bratasena diminta mencari Kayu Gung Susuhing Angin (kayu yang dibuat sebagai sarang angin) di puncak Candradimuka. Pemberian nasihat Rsi Durna kepada Baratsena ini didengar oleh Sengkuni. Sesegera itu pula Bratasena melakukan apa yang dinasihatkan Rsi Durna dengan penuh tekad. Sengkuni pun curiga dengan peristiwa ini. Untuk itulah, Sengkuni memerintahkan Dursusana untuk membuntuti Bratasena. Pada layar pertunjukan versi video ini, bayangan gunung-gunung diterjang langkah Bratasena. Dua raksasa penunggu hutan menghalangi langkahnya juga dihadapinya dengan segala kekuatan. Sebenarnya, Raksasa itu adalah dua dewa yang menjelma. Karena keteguhan hati dan tekad Bratasena, mereka memberinya Sesotya Mustika.
Adegan kemudian berlanjut pada goro-goro. Kehadiran Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong memberikan nuansa humor yang sarat makna. Kemudian berlanjut lagi dengan kembalinya Bratasena menemui Rsi Durna untuk mempertanyakan Sesotya Mustika dan mendapatkan tambahan petunjuk. Sesotya Mustika adalah petunjuk pencarian Bratasena. Atas dasar itu, Rsi Durna memerintahkan Bratasena lagi untuk mencari Tirta Pawitra (air suci) di Minangkalbu. Sebelum berangkat, Bratasena memohon restu dari ibu kandungnya, Dewi Kunthi. Kunthi khawatir dengan tekad Bratasena ini. Untuk itulah, Kunthi mengutus Puntadewa, Permadi, Nakula, dan Sadewa untuk menguji tekad Bratasena.
Pada citra yang lain lagi, tatkala pasukan Hastina (Puntadewa, Permadi, Nakula, dan Sadewa) bergerak hendak menguji langkah Bratasena, musik gamelan ditingkahi suara drum dan terompet. Cahaya dimainkan dari balik layar, membangkitkan semacam puisi bayang-bayang yang di dalam konteks wayang yang kontemplatif ini lalu ada suasana mistik, suasana tranquil.
Nantinya Bratasena akan menyelam ke dasar samudera, dia diserang oleh seekor ular besar yang hampir membunuhnya, tetapi dengan kekuatan Kuku Pancanaka-nya, dia dapat membunuh ular tersebut. Setelah mengalahkan naga penunggu samudera, Bratasena makin dalam memasuki lautan. Saat itu pula ia menjadi tidak sadarkan diri. Ketika Bratasena membuka matanya, ia melihat makhluk seperti dirinya. Dia berjumpa dengan Dewa Ruci—tokoh yang menyerupai dirinya, namun hanya sebesar jari kelingking—. Pada saat itulah, gelombang samudera yang tadinya bergejolak setinggi gunung mengiringi pertarungannya dengan naga, seketika menjadi tenang, sunyi, dan hening.
Dewa Ruci meminta Bratasena untuk masuk ke dalam badannya, melalui telinga kirinya. Walaupun dewa ini sangat kecil, tetapi Bima dapat masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci dan menemukan dirinya berada pada suatu dunia yang sangat mengagumkan, damai, dan indah. Bratasena merasa sangat nyaman dan karena itu Bima ingin tetap tinggal disana. Dewa Ruci kemudian menjelaskan makna dari apa yang dilihatnya dan makna dari kehidupan. Dewa Ruci menjelaskan mengenai arti Tirta Pawitra yang dicari Bratasena. Tirta pawitra tidak di mana-mana, melainkan berada pada diri Bratasena sendiri. Kejelekan dapat dikalahkan kebajikan dengan niat dan usaha yang kuat. Menjawab keinginan Bratasena untuk tinggal di sana, Dewa Ruci mengatakan ia boleh tinggal di sana setelah kematiannya. Akan tetapi, untuk saat ini ia harus kembali ke bumi bersama dengan saudara-saudaranya untuk melaksanakan kewajiban sebagai ksatria. Bima mengikuti Dewa Ruci dan kembali ke dunia nyata untuk melanjutkan perlawanannya memerangi kejahatan, membela saudara-saudaranya melawan Kurawa.
Isi pesan yang tersirat dalam lakon pendek dan padat yang dikemas dalam video ini mampu tersampaikan kepada penonton. Penonton tidak perlu meluangkan banyak waktu untuk mengetahui cerita dan isi pesan yang ingin disampaikan cerita. Hal itu memudahkan masyarakat untuk tetap terus melakukan mobilisasi kehidupannya yang padat pula di zaman modern ini.

3. Kesimpulan
Seperti yang diketahui, lakon Dewa Ruci ini adalah hasil karya Sunan Kalijaga, salah satu Walisongo Jawa. Sunan Kalijaga ingin mengajarkan konsep Sangkan Paraning Dumadi (asal dan tujuan kehidupan manusia). Wayang menjadi media ensiklopedia hidup yang mengajarkan perilaku kehidupan manusia yang mengandung falsafah dan ajaran kerohanian (etika, estetika, kesetiaan, pengabdian, dan cinta). Keberadaan manusia di dunia ini dalam keniscayaan yang dikandung dalam konsep Jawa.
Tidak seperti filsafat Barat yang dimulai dengan mempertanyakan tentang “ada”, filsafat Jawa tidak demikian. Bagi orang Jawa “ada” merupakan suatu keniscayaan yang tak perlu diragukan lagi kebenarannya. Yang dipertanyakan justru dari mana asal “ada” dan ke mana tujuan “menjadi”-nya. Hal itu disebabkan semua yang tampak ada ini ternyata “menjadi”, artinya selalu dalam perubahan, hingga seolah selalu “mengalir”, yang dalam bahasa Jawa disebut owah gingsir. Sesuai dengan prinsip rwa bhinneda, kalau ada yang selalu berubah, tentu ada yang tidak berubah atau abadi. Karena yang ada ini selalu dalam perubahan, tentu bukan yang sejati dan hanya sesuatu yang bersifat semu belaka. Yang sejati tentu tidak berubah dan selalu abadi. Semua yang ada ini hanyalah semu, tidak sempurna, dan bersifat sementara, sedangkan yang sejati, bersifat sempurna dan abadi. Hal di atas dapat diambil dari kandungan cerita Dewa Ruci.
Secara lahiriah, kesenian wayang merupakan hiburan yang mengasyikkan baik ditinjau dari segi wujud maupun seni pakelirannya. Akan tetapi, di balik sesuatu yang tersurat itu terkandung nilai adiluhung sebagai petunjuk rohani yang disampaikan secara tersirat.
Peranan seni dalam pewayangan merupakan unsur dominan. Akan tetapi, bila dikaji secara mendalam dapat ditelusuri nilai-nilai edukatif yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Unsur-unsur pendidikan tampil dalam bentuk pasemon atau perlambang. Oleh karena itu, seseorang dapat melihat nilai- nilai tersebut tergantung dari kemampuan menghayati dan mencerna bentuk-bentuk simbol atau lambang dalam pewayangan. Berdasarkan sejarahnya, kesenian wayang jelas lahir di bumi Indonesia. Sifat local genius (kecerdasan lokal) yang dimiliki bangsa Indonesia, secara sempurna terjadi pembauran kebudayaan asing, sehingga tidak terasa sifat asingnya.
Jadi, perjalanan sejarah mencatat bahwa seni pertunjukan (termasuk juga wayang) tidak diragukan memiliki arti penting bagi kehidupan bermasyarakat. Seni pertunjukan, dengan aspek-aspek pembentuk sosoknya, sesungguhnya telah berusaha menempatkan diri sebagai pilar-pilar yang dapat digunakan sebagai penyangga kehidupan berbangsa yang saat ini sedang dalam pembangunan. Masyarakat Indonesia yang sedang dalam pembangunan, khususnya pembangunan moral memerlukan dukungan untuk kebersamaan. Kebersamaan yang dilandasi oleh toleransi bermasyarakat ditawarkan oleh seni pertunjukan kepada kita yang sedang membangun kembali jatidiri, kebanggaan, dan martabat bangsa seperti sekarang ini. Akan tetapi, semuanya kembali kepada persepsi kita sendiri. Mampukah kita menepis batas egoisme, pemaksaan kehendak, atau keserakahan yang merupakan kendala untuk melangkah ke depan.



DAFTAR PUSTAKA

Hadiprayitno, Kasidi. 2006. Pertunjukan Wayang dalam Perubahan Zaman. Makalah diskusi, tidak diterbitkan.

Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Kusmayati, A.M. Hermin. 2006. Fungsi Seni Pertunjukan bagi Pembangunan Moral Bangsa. Makalah diskusi, tidak diterbitkan.

Nurgiyantoro, Burhan. 2003. “Wayang dalam Fiksi Indonesia” dalam Jurnal Humaniora volume XV no.01. Yogyakarta: Humaniora.

Purwadi. 2004. Dakwah Sunan Kalijaga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Soedarsono, R.M.. 2002 Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.



SUMBER INTERNET

Anonim. tanpa tahun. Cerita Dewa Ruci dalam http://kalkusholic.multiply.com/
post/tulisan. Diakses pada Minggu, 27 Mei 2007 pkl. 11.00

Suripto, Adi. tanpa tahun. Filsafat Wayang dalam http://mandow.multiply.com/ market/item/11Originally posted by jaka_bodoh. Diakses pada Minggu, 27 Mei 2007 pkl. 11.00

Sutini. tanpa tahun. Wayang dalam http://www.jawapalace.org. Diakses pada Minggu, 10 Juni 2007 pkl. 14.00



SUMBER MULTIMEDIA

Video Pertunjukan Wayang Kulit oleh Ki Manteb Soedharsono dengan lakon Dewa Ruci. Dilihat dalam perkuliahan Sejarah Seni Pertunjukan pada Senin, 22 Mei 2007

2 komentar: