Kamis, 25 Desember 2008

DASAR PEMIKIRAN ANTONIO GRAMSCI TENTANG HEGEMONI

1. Pendahuluan
Karya sastra, tidak terkecuali drama, memiliki pesan yang tersembunyi di balik teks-teksnya. Dengan kata lain, menurut Loewenthal (dalam Kleden, 2004:45), sastra mengandung banyak lapisan makna yang beberapa di antaranya memang dimaksudkan pengarang dan beberapa pula tidak dimaksudkan. Karya sastra mengandung gagasan yang dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap sosial tertentu, bahkan dapat digunakan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu. Pengarang memberikan makna lewat kenyataan yang diciptakannya secara bebas dengan syarat tetap dapat dipahami oleh pembaca dalam rangka konvensi yang tersedia baginya, yaitu konvensi bahasa, konvensi sosio-budaya, dan konvensi sastra (Teeuw, 2003: 203).
Menurut Kleden (2004:45), sampai tingkat tertentu, sastra melukiskan kecenderungan-kecenderungan utama dalam masyarakatnya, baik karena sebuah teks dengan sadar (atau tidak sadar) mengungkapkannya; maupun karena teks tersebut dengan sengaja (atau tanpa sengaja) menghindari atau mengelabuinya. Sebuah cerita bisa saja melukiskan situasi kejiwaan individu, tetapi situasi kejiwaan tersebut dapat menjadi metafor (yang berhasil atau gagal) untuk keadaan masyarakat tempat individu bersangkutan hidup. Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (sosial) ini disebut sosiologi sastra (Damono, 1984:2).

2. Sosiologi dan Sastra
Swingewood (1972 dalam Faruk, 2005:1) mendefinisikan sosiologi sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat; studi mengenai lembaga-lembaga dan proses sosial. Sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai cara masyarakat dimungkinkan, cara kerja, dan alasan masyarakat itu bertahan hidup. Lebih lanjut, lewat penelitian yang ketat mengenai lembaga-lembaga sosial, agama, ekonomi, politik, dan keluarga, yang secara bersama-sama membentuk struktur sosial, sosiologi memperoleh gambaran mengenai cara-cara manusia menyesuaikan dirinya dengan dan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu. Selain itu, sosiologi juga memperoleh gambaran mengenai mekanisme sosialisasi dan proses belajar secara kultural. Dengan semua itu, individu-individu dialokasikan pada peranan-peranan tertentu sekaligus menerimanya dalam struktur sosial itu.
Konsep stabilitas sosial, kesinambungan antarmasyarakat yang berbeda, dan cara individu berlembaga sosial memiliki hubungan dengan aspek sosial di atas sekaligus sebagai suatu hal yang diperlukan dan benar (Swingewood, 1972 dalam Faruk, 2005:1). Sebagai ilmu pengetahuan yang multiparadigma, sosiologi juga berada dalam usaha merebut hegemoni dalam lapangan sosiologi secara keseluruhan (Ritzer, 1975 dalam Faruk, 2005:2)
Seperti halnya sosiologi, sastra juga berkenaan dengan manusia dalam masyarakat. Dengan kata lain, sastra berhubungan dengan usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan, bahkan, mengubah masyarakat (Damono, 1984:7). Menurut Kleden (2004:8), sebuah karya sastra tidak dapat mengelak dari kondisi masyarakat dan situasi kebudayaan tempat karya itu dihasilkan. Berger dan Luckman (dalam Teeuw, 2003:186) menyatakan bahwa kehidupan sehari-hari menyajikan dirinya sebagai kenyataan yang ditafsirkan oleh manusia dan yang bermakna secara subjektif bagi mereka sebagai dunia yang koheren. Teeuw (2003:186) sendiri menyatakan bahwa interpretasi terjadi lewat struktur sosial yang menyediakan sejumlah peranan yang masing-masing ada stereotipnya bagi anggota masyarakat.
Menurut Pradopo (2002:22), sosiologi sastra berdasar pada prinsip bahwa karya sastra (kesusastraan) merupakan refleksi masyarakat pada zaman karya sastra itu ditulis; yaitu masyarakat yang melingkungi penulis. Hal itu disebabkan oleh penulis, sebagai anggota masyarakat, tidak dapat lepas dari masyarakatnya. Taine (Pradopo, 2002:22) memperlakukan karya sastra berdasarkan tiga faktor: bangsa (ras), lingkungan masyarakat, dan momen sejarah pengarangnya.
Dari sejumlah pernyataan di atas dan sebagaimana telah dinyatakan pada latar belakang penelitian, sebuah kritik dalam hubungannya dengan suatu terapan sosial-kritis diperlukan di dalam penelitian ini. Hubungan-hubungan ketergantungan yang muncul dari relasi kekerasan dan dominasi, yang dibenarkan dan disembunyikan secara ideologis (sehingga tidak lagi menampakkan dirinya sebagai hubungan ketergantungan) merupakan jalan utama menuju suatu analisis kritis. Menurut Kuntowijoyo (1987:145), dalam segi ketergantungan dan ketidaktergantungannya, hubungan langsung maupun tidak langsung antara karya sastra sebagai sistem simbol dan sistem sosial menentukan suatu arah dan peranannya. Karya sastra dibentuk dari proses strukturasi nilai-nilai yang terjadi pada realitas masyarakat. Hubungan antara karya sastra dengan ideologi masyarakat bersifat dialektik. Karya sastra lahir dan dibentuk oleh ideologi masyarakat, sedangkan ideologi masyarakat juga dipengaruhi oleh karya sastra. Oleh karena itu, sosiologi sastra hadir sebagai disiplin ilmu yang berusaha memahami dan menjelaskan arah dan peranan fenomena dua struktur tersebut (Faruk, 2005:19).

3. Gramsci dalam Sosiologi Sastra
Salah satu teori dalam sosiologi sastra yang hadir di dalam dialektika kritik sastra Indonesia adalah teori yang dikemukakan oleh Antonio Gramsci (1891—1937). Sosiologi sastra dalam perspektif Gramsci tidak hanya mengakui kompleksitas hubungan antara sastra sebagai superstruktur dengan struktur kelas ekonomi sebagai infrastrukturnya. Peranan kesadaran dalam menentukan tindakan manusia dan arti penting hegemoni ideologis dalam memelihara hubungan-hubungan sosial merupakan unsur utama pemikiran Gramsci (Bellamy, 1990:169). Pemikiran Gramsci tidak hanya mengakui eksistensi sastra sebagai lembaga sosial yang relatif otonom, melainkan juga mempunyai kemungkinan bersifat formatif terhadap masyarakat (Faruk, 2005:61). Sebelum menilik bentuk-bentuk gagasan yang dirumuskan Gramsci, terlebih dahulu perlu dijelaskan hal-hal yang mendasari pemikiran Gramsci itu.

4. Dasar Pemikiran Gramsci
Gramsci menuliskan pemikirannya dengan bertitik tolak pada kritiknya terhadap pandangan marxisme ortodoks, terutama kerangka teoretis Nicolai Bukharin. Kerangka teoretis Bukharin tersebut bermaksud sebagai sebuah karya tentang marxisme-leninisme untuk para kader partai komunis. Bukharin menulis ajaran-ajaran marxisme-leninisme sebagai pandangan dunia proletariat, sekaligus upaya Bukharin menyatukan sosiologi kontemporer dalam karyanya itu. Tindakan Bukharin itu bertujuan untuk menunjukkan bahwa materialisme sejarah adalah sosiologi tentang proletariat dengan kadar kepastian ilmiah (Patria & Arief, 2003:60—62).
Gramsci menolak pandangan tersebut dan menganggap materialisme sejarah ortodoks itu telah mereduksi metode dialektik kritis terhadap masyarakat menjadi seperangkat prinsip-prinsip partai yang bersifat dogmatis dengan mengorbankan pembebasan diri proletariat. Penolakan Gramsci itu dipahami dalam pengertian metafisika tradisional (Patria & Arief, 2003:58). Bahkan, Gramsci berkeberatan dengan maksud Bukharin yang dibuat untuk komunitas pembaca elit yang disebut Gramsci “bukan intelektual profesional”. Akibat dari hal tersebut, menurut Gramsci, tercipta kekeliruan besar karena mengabaikan “filsafat massa rakyat” (filsafat yang lahir dari akal sehat rakyat sendiri). Dengan kata lain, pandangan Bukharin tersebut adalah sebuah sistem filsafat (materialisme sejarah) yang asing dan tidak dikenal oleh massa rakyat dan hendak dipaksakan begitu saja dari luar kesadaran diri proletar.
Bagi Gramsci, kesadaran politik proletariat harus dibangun melalui kepercayaan-kepercayaan dan akal sehat kaum proletar, sebagaimana terungkap dalam cerita-cerita dan agama rakyat, dan bukan semata-mata dipaksakan dari pihak di luar kelompoknya. Hal tersebut merupakan cerminan kekuatan kultural kohesif atau hegemoni yang dijalankan oleh kelas-kelas yang berkuasa. Hegemoni selalu berhubungan dengan penyusunan kekuatan negara sebagai kelas diktator (Simon, 2004:30; Williams, 1960: 587, dalam Patria & Arief, 2003:32; cf. Faruk, 2005:78—79). Hegemoni juga merujuk pada kedudukan ideologis satu atau lebih kelompok atau kelas dalam masyarakat sipil yang lebih tinggi dari yang lainnya (Bellamy, 1990:185).
Perlu ditekankan bahwa, sebelum Bukharin, Gramsci juga menanggapi pemikiran-pemikiran Karl Heindrich Marx. Pada beberapa sisi, Gramsci menonjolkan gagasan-gagasan laten Marx. Di sisi yang lain, Gramsci menolak beberapa anggapan Marx. Pemikiran Marx bersandar pada kekuatan manusia semata-mata sebagai pengondisi kehidupan yang kemudian harus menaati usaha-usaha bersama atas dasar kepunyaan bersama (Masnur, 2003:7—8).
Gagasan Marx sendiri merupakan kritik terhadap filsafat Hegelian Jerman (yang dicetuskan oleh Georg Wilhelm Friedrich Hegel), ekonomi politik Adam Smith dan David Ricardo, dan pemikiran politik Pierre-Joseph Proudhon. Marx melakukan analisis terhadap faktor makroekonomi, sehingga pikiran ekonomi-politiknya lebih menonjol. Dari hal itu, Marx mengemukakannya dalam Das Kapital dengan dibantu Frederick Engels mulai 1844 di Paris. Yang dijadikan tujuan Marx adalah membangun masyarakat dengan kebebasannya terhadap tekanan ekonomi kapitalis yang hanya menuntut percepatan produksi dengan memeras tenaga manusia secara sia-sia (Masnur, 2003:9). Inilah benih-benih pemikiran khas Marx, sekaligus Engels: materialisme sejarah (historical materialism).
Prinsip-prinsip dasar dalam materialisme sejarah adalah kenyataan-kenyataan dasar bagi awal mula proses penafkahan pada diri manusia sebelum keterlibatan manusia, antara lain, di bidang pengetahuan, politik, seni, dan sastra. Menurut Masnur (2003:12), logika inilah yang dipakai oleh Marx dan Engels dalam memandang negara sebagai cerminan dari kebutuhan dasar manusia, dengan maksud keharusan negara untuk bersifat sosialistik. Lebih lanjut, negara menjadi kumpulan orang-orang yang berderajat sama dengan status dan kepemilikan yang sama pula.
Basis struktur, berupa kegiatan produksi, pada formasi sosial itu menentukan bangunan atasnya, yaitu cerminan keadaan struktur bawah. Negara adalah alat untuk menjamin kedudukan kelas atas, yang fungsinya secara politik meredam usaha-usaha kelas bawah untuk membebaskan diri dari pengaruh kelas atas. Sedangkan, ”superstruktur ideologis”—istilah marxis bagi pandangan moral, filsafat, hukum, agama, estetika, dan lain-lainnya—berfungsi untuk memberikan legitimasi pada hubungan kekuasaan itu (Magnis-Suseno, 1922:266 dalam Patria & Arief, 2003:4). Dengan kata lain, perkembangan masyarakat ditentukan oleh bidang produksi sebagai infrastruktur. Sedangkan, superstruktur diasumsikan merupakan hasil dari kondisi material objektif (hubungan-hubungan produksi). Hal tersebut itulah yang kemudian diperdebatkan dan dikoreksi oleh Gramsci melalui ide sentralnya: hegemoni.
Penolakan Gramsci pada tradisi marxian ortodoks dan penekanan sebaliknya pada faktor-faktor budaya dan ideologi disebabkan oleh situasi Italia sendiri, negara kelahiran Gramsci, sebagaimana negara-negara kapitalis lain yang bersistem borjuis dan memiliki sumber stabilitas yang kuat. Fokus perhatian Gramsci pada latar belakang politik tersebut muncul dari situasi politik ketika Gramsci menjadi pemimpin intelektual dari gerakan massa proletar selama perang dunia pertama dan masa sesudah itu di Turin, Italia. Bagi Gramsci, politik bukanlah sekedar cara untuk mencapai kekuasaan. Lebih dari itu, politik adalah cara mengakomodasikan semua kepentingan dari kelompok-kelompok masyarakat tersebut dalam sebuah aktivitas bersinergi. Ketika suatu kelompok mampu melakukan hal tersebut, kelompok itu akan berhasil mendapatkan kekuasaan. Selama kelompok itu mampu melakukannya, maka kekuasaan pun tetap dapat dipertahankan (cf. Iskandar, 2003:54—55).
Italia, termasuk negara kapitalis yang lain setelah terjadi krisis ekonomi kapitalis, berharap adanya revolusi sosialis. Pertarungan politik partai, baik Kiri maupun Kanan membuahkan kemenangan kepada fasisme pada 1922 dan melenyapnya hak-hak politik. Sebagai anggota kunci dari Partai Sosialis Italia, dan kemudian menjadi Partai Komunis Italia, Gramsci melihat kegagalan gerakan massa buruh secara revolusioner dan munculnya fasisme reaksioner (Patria & Arief, 2003:13). Rangkaian kekalahan dan kegagalan ini telah menyebabkan keraguan dalam diri Gramsci terhadap kredibilitas teoretis aksi revolusi. Berdasarkan kenyataan dan kesulitan seperti itu, Gramsci lalu berusaha menganalisis persoalan dengan mencari strategi yang pas untuk menyukseskan revolusi sosialis di Eropa Barat pada umumnya, di Italia pada khususnya.
Rumusan teori yang dikemukakan oleh Antonio Gramsci dapat dinyatakan sebagai teori yang komprehensif, tepat-menyeluruh, dan representatif untuk diterapkan di dalam penelitian ini. Menurut Gramsci (Bellamy, 1990:179), teori tidak saja memberikan pengetahuan tentang proses-proses sosial, namun juga menyediakan landasan bagi tindakan yang lebih efektif. Rumusan teori Gramsci ini dikenal melalui pilihan kumpulan catatan harian Gramsci pada waktu dipenjara antara tahun 1929—1935. Pilihan catatan itu diberi Quadreni del Carcere atau Selection from the Prison Notebooks (Fakih, 2004 dalam Simon, 2004:vii). Pribadi Gramsci sendiri tidak mengetahui bahwa catatannya, The Prison Notebooks, dipublikasikan. Catatan tersebut sebenarnya ditulis oleh Gramsci secara terpisah, tidak bermaksud untuk dipublikasikan, dan bahkan belum terselesaikan, sebagaimana Das Kapital milik Marx. Akan tetapi, gagasan-gagasan Gramsci di dalamnya merupakan sumbangan penting dalam pemikiran dunia.

5. Kesimpulan
Karya sastra tidak hadir begitu saja, tidak mungkin muncul dalam situasi kekosongan budaya. Karya sastra tidak dapat terelakkan dari lingkungan sosio-historis, terutama dari sudut pengarangnya. Gramsci memberikan persepsi bahwa superstruktur ditentukan oleh infrastruktur. Akan tetapi, tidak hanya itu, Gramsci melalui teori hegemoni-nya memungkinkan karya sastra, selain sebagai refleksi masyarakat, dalam taraf tertentu dapat bersifat formatif terhadap masyarakat.
Gramsci telah memberikan sudut pandang yang berbeda berkenaan dengan kajian sosial terhadap karya sastra. Sastra Indonesia, yang telah dihegemoni oleh bentuk kesusastraan tertentu, atau bahkan bentuk sosial tertentu, mendapat determinasi dari faktor-faktor kultural tertentu. Mobilitas sastra Indonesia tidak bergerak begitu saja, melainkan dibangun melalui berbagai wajah kebudayaan, baik dari dalam maupun luar. Dengan demikian, gagasan hegemoni dari Gramsci telah memberikan manfaat dan ruang yang segar sekaligus berbeda dalam kajian sastra Indonesia.



DAFTAR PUSTAKA

Bellamy, Richard. 1990. ”Antonio Gramsci”. Teori Sosial Modern: Perspektif Itali. Jakarta: LP3ES

Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Faruk. 2005. Pengantar Sosiologi Sastra. Cetakan ke-4. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Iskandar, Dedi. 2003. ”Mengenal dan Mengritik Gramsci”. Pemikiran-pemikiran Revolusioner. Saiful Arif (Ed.). Cetakan ke-2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kleden, Ignas. 2004. Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-esai Sastra dan Budaya. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Tiara Wacana Yogya.

Masnur, Muhammad Badi’ Zamanil. 2003. ”Perdebatan Revolusi Marx dalam Misteri Kapitalisme”. Pemikiran-pemikiran Revolusioner. Saiful Arif (Ed.). Cetakan ke-2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Patria, Nezar dan Andi Arief. 2003. Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni. Cetakan ke-2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Simon, Roger. 2004. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Diterjemahkan oleh Kamdani dan Imam Baehaqi. Cetakan ke-4. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.

Teeuw, A. 2003. Sastera dan Ilmu Sastera. Cetakan ke-3. Jakarta: Pustaka Jaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar