Kamis, 25 Desember 2008

PENGGUNAAN BAHASA DALAM KARYA SASTRA

[1]


1. Pendahuluan
Bahasa adalah media sastra yang bersifat materi. Bahasa dijadikan sarana penting untuk melayani fungsi hegemonis. Pengelompokan sastra memang berpijak pada bahasa yang digunakan. Akan tetapi, bahasa bukan yang terpenting karena pada dasarnya bahasa adalah alat komunikasi sosial suatu masyarakat. Yang lebih penting adalah isi atau muatan yang ingin disampaikan melalui bahasa itu (Sumardjo, 2004:251). Kebudayaan dapat ditelusuri melalui aktivitas keseharian (unsur umum), termasuk penggunaan bahasa dalam berkomunikasi (Williams, 1958:311 dalam Milner, 2003:378). Menurut Williams, sastra sebagai struktur perasaan dari suatu kebudayaan mengandung suatu makna yang hidup dan aktual yang memungkinkan terjadinya komunikasi kemudian dimanfaatkan secara alamiah dan hegemonik (Williams, 1961:64—65 dalam Milner, 2003:379).
Menurut Sumardjo (2004:253), bahasa Melayu-Tionghoa berakar pada bahasa Melayu. Bahasa Melayu terbagi atas dua bagian, yaitu sebagai bahasa tulis dan bahasa lisan. Bahasa tulis hanya dikenal secara aktual di lingkungan pengguna bahasa Melayu, terutama golongan bangsawan. Bahasa Melayu tulis lazim dikenal sebagai bahasa Melayu Riau atau bahasa Melayu-Tinggi. Bahasa Melayu-Tinggi ini kemudian dijadikan suatu kebakuan dalam penyaringan karya-karya yang dianggap sastra oleh Het Kantoor voor Inlandsze Zaken (Kantor Urusan Bumiputera) yang bekerjasama dengan Balai Pustaka atau Kantoor voor de Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat) (Razif, 2008).
Menurut Razif (2008:17), antara Balai Pustaka dengan Kantor Urusan Bumiputera terjadi hubungan yang sangat erat. Di dalam Kantor Urusan Bumiputera terdapat ahli-ahli bahasa yang bertugas mengadakan penelitian terhadap bahasa-bahasa di Hindia-Belanda. Sedangkan, Balai Pustaka memberikan pertimbangan kepada negara kolonial tentang pemilihan naskah bacaan bagi perpustakaan sekolah dan masyarakat umum. Pengurusnya terdiri atas enam orang dan diketuai oleh Hazeu, penasehat urusan bumiputera, yang kemudian diambil alih oleh Rinkes pada 8 November 1910. Rinkes sebelumnya telah aktif sebagai pegawai bahasa di Kantor Urusan Bumiputera. Kedua kantor ini secara administratif berada di bawah direktur Departement van Onderwijs (Departemen Pendidikan). Dengan kata lain, yang menyeleksi karya sastra dari sudut bahasanya adalah Kantor Urusan Bumiputera, sedangkan Balai Pustaka bertugas untuk menerbitkan dan menyebarkan karya sastra yang lolos seleksi tersebut. Persamaannya adalah kedua organisasi tersebut merupakan institusi yang berusaha mendominasi dan mensubordinasi proses organisasi sosial dan mengontrol perkembangan kebudayaan masyarakat Hindia Belanda.
Sedangkan, bahasa Melayu lisan adalah cabang bahasa lisan yang berubah dan berkembang berdasarkan perubahan-perubahan historisnya. Bahasa ini digunakan sebagai bahasa pergaulan oleh berbagai macam kelompok asal, seperti masyarakat Belanda, Tionghoa, Jawa, Sunda, dan sebagainya, terutama dalam hubungan perdagangan. Oleh karena itu, terbentuk berbagai bahasa Melayu dalam berbagai dialek. Dialek-dialek dalam berbagai kelompok ini disebut bahasa Melayu-Rendah atau bahasa Melayu Pasar. Selanjutnya, bahasa Melayu-Rendah yang digunakan oleh masyarakat Tionghoa dengan dialek yang khas Tionghoa memunculkan bahasa Melayu-Tionghoa atau juga disebut bahasa Melayu-Betawi.

2. Bahasa dalam Korbannya Kong-Ek
Penggunaan bahasa-bahasa di atas dapat menunjukkan tingkat pendidikan dan pengalaman hidup seseorang. Dengan kata lain, intelektualitas seseorang tercermin dalam bahasa yang digunakannya. Pemakaian bahasa juga memberikan indikasi maksud dan sasaran pembaca yang ingin dituju pengarang (Sumardjo, 2004:255). Penggunaan bahasa Melayu-Tionghoa oleh Hoay dalam Korbannya Kong-Ek lebih ditujukan kepada masyarakat Tionghoa dari lingkungan masyarakat menengah ke bawah. Lebih dari itu, bahasa Melayu-Tionghoa pun dapat dimengerti oleh masyarakat di luar masyarakat Tionghoa dan masyarakat kelas atas. Jadi, tujuan yang ingin dicapai Hoay adalah agar Korbannya Kong-Ek lebih dekat dan dipahami oleh masyarakat sasarannya itu.
Seperti yang disampaikan Gramsci, bahasa merupakan sarana penting untuk melayani fungsi hegemonis. Perlu diketahui, jumlah masyarakat kelas menengah ke bawah jauh lebih dominan daripada kelas masyarakat di atasnya. Masyarakat menengah ke bawah berpotensi besar sebagai kelas pergerakan, bahkan revolusioner. Dengan begitu, Korbannya Kong-Ek diupayakan memberikan aspek formatif kepada masyarakat. Hoay menggunakan kecerdasannya untuk dapat memenuhi fungsi sosial dan mengekspresikan gagasan intelektualnya. Tindakan formatif dari segi penggunaan bahasa yang dilakukan Hoay ini juga merupakan upaya kontra-hegemoni terhadap kekuasaan kolonial.
Tuturan-tuturan yang khas masyarakat Tionghoa banyak ditemui dalam teks, misalnya boanseng dan owe (saya; aku), liatwie losianseng (tuan; kau), cia-lat (sial—makian—), kamsiah (terima kasih), jiatsiem (baik; murah hati), ce-ceng-tun (seribu), dan tabe (tabik; salam hormat) dalam contoh di bawah ini.
Tek Beng : (bertunduk dan bertarik nafas panjang) Boan seng minta tempo buat pikir dulu. Boan seng betul kuatir pada penyakit itu dua anak.
(Hlm. 36)
....
Tek Beng : (berbangkit dari meja vergadering) Owe menyesel ini vergadering ditutup sampe di sini saja, tapi apa boleh buat. Sekarang owe permisi pulang, sebab owe mau lekas liat bagimana kaadaannya owe punya anak-anak.
(Hlm. 41)
....
Tek Beng : .... Tapi cobalah Liatwie Losianseng pake pikiran dan timbangan yang adil dalem ini hal. ....
(Hlm. 30)
....
Yo Tjioe : (meremin matanya mukanya berjengit, tangannya masih pegangin perut) Aduh, Aduh, cia-lat betul! Owe punya perut sakit, rasanya ’nak mau muntah dan kepala pusing.
(Hlm. 37)
....
Yo Tjioe : Kamsiah! Aduh, duh, duh! Tra usah bikin susah, Pek Pie Koh Sia sendiri sudah sampe.
(Hlm. 39)
...
Sun Hong Kie: (tertawa) Ha-ha-ha! Tek Beng seorang jiatsiem, maka gampang dibujuk buat lakuken pakerjaan berat, asal diogok dan didongengin, dia tentu tida tampik.
(Hlm. 42)
....
Toa Te : Kabarnya suda dapet ampir ce-ceng-tun.
(Hlm. 70)
....
Masing-masing membri tabe. Van Eerlijk, De Zuiver, dan Sauerkop berjalan kaluar, dianter oleh semua orang, komudian itu lid-lid bestuur duduk kombali di saputer meja vergadering.
(Hlm. 79)

Contoh kata-kata di atas tidak serta-merta menjadi tuturan yang tetap atau selalu digunakan oleh tokoh dalam dialognya. Akan tetapi, pada dialog lainnya juga menggunakan kata-kata yang lazim, seperti aku, kau, tuan-tuan, persetan, trima kasih, cakep, saribu, dan hormat. Hal ini merupakan salah satu cara mengompromikan bahasa agar lebih akomodatif.
Tek Beng : Aku tida sesalin salah satu orang. Aku cuma unjuk tida betulnya Hong Kie punya alesan, bahua itu dua vergadering jadi gagal, lantaran itu dua malem ada ujan dan angin meniup keras.
(Hlm. 18)
....
Tek Beng : Kapan tuan doktor mau preksa, saya nanti kasih satu surat introductie pada hoofdonderwijzer dari itu sekola, supaya ia suka tulung kasih segala katrangan yang perlu pada tuan.
(Hlm. 54)
....
Yo Tjioe : (lemparken itu cepuk katanah) Persetan!
(Hlm. 37)
....
Yo Tjioe : ..., sebab sekarang pun, baru saja itu hal digerakin, itu dua pembesar sudah unjuk trima kasihnya dengen kunjungi kita punya sekola. (menulis terus)
(Hlm. 70)
....
Soen Hong Kie: Itu betul! Boan seng cocok sekali. Tida ada laen orang yang sampe cakep jadi utusan salaennya dari tuan Sim Tek Beng.
(Hlm. 34)
....
Toa Te : .... Sekarang malah ada yang tau bayar renten sampe ampat puluh persaribunya, tapi owe blon bisa kasih, sebab owe blon sedia.
(Hlm. 43)
....
(Masuk : Ong Sam Kiok, Tjin Toa Te, Beng Soe Sek, Lim Yo Tjioe, dan Pek Pie Koh Sia, masing-masing membri hormat pada yng hadir duluan).
(Hlm. 19)

Di lain pihak, Hoay juga sedikit banyak menguasai bahasa yang lainnya, di luar bahasa Melayu-Tionghoa. Kosakata dari bahasa Belanda juga banyak ditemui di dalam teks, baik pada petunjuk pelakonan, dialog tokoh Tionghoa, terutama dialog tokoh Belanda, seperti voorstel (usul; tawaran), conferentie (konferensi), vergadering (rapat), bestuur (pemerintah), statuten (status), rekest (pengaduan; petisi), commissaris politie (komisaris polisi), advies (nasehat), introductie (pengantar), hoofdonderwijzer (kepala sekolah), rapport (laporan), Groote Weg (jalan raya), Arabieren (orang Arab), Inlanders (orang-orang pribumi), politie (polisi), en (dan), gezonheid dienst (dinas kesehatan), besmet (terinfeksi; tertular), vloer (lantai), plafond (langit-langit), directeur (direktur), dan gemeente werken (kepegawaian kotapraja).
Sam Kiok : Laen dari itu kau misti inget, kita telah majuken banyak voorstel-voorstel penting buat dibicaraken di itu conferentie, yang ampir semua kaluar dari kau punya pikiran. ....
(Hlm. 36)
....
Soe Sek : Kalu diterusken pun ini vergadering jadi tida sah kerna bestuur yang hadlir tida cukup banyaknya seperti ditentuken dalem statuten.
(Hlm. 40)
....
Yo Tjioe : Itu rekest owe yang atur, dan owe percaya ini sakali bakal berhasil, sebab kita punya kaptoa dua-dua, begitu pun Patih dan commissaris politie, ada tunjang kras dan bri advies baek.
(Hlm. 71)
....
Tek Beng : Kapan tuan doktor mau preksa, saya nanti kasih satu surat introductie pada hoofdonderwijzer dari itu sekola, supaya ia suka tulung kasih segala katrangan yang perlu pada tuan.
(Hlm. 54)
....
Sauerkop : Zekkarang saya blom bissa bilang apa-apa. Saya mesti tonghu rapport priksa itu darah di laboratorium. .... Duwa anak itu baba toko bras di jalan Grobak, lima di Groote Weg en duwa di dekat passer yang dagang cita, samuwa dapat typhus.
En saya heiran bagimana coomah di kampung china saja banyak-banyak anak-anak dapat itu sakit, anak owrang Blanda of Arabieren of Inlanders tidak ada yang kena typhus. Zekkarang saya mauw minta politie en gezonheid dienst bowat jaga sopya tidak ada besmet lebih jauw. ....
(Hlm. 53)
....
De Zuiver : .... Kamar sekola punya vloer, plafond, dan tembok-tembok sudah pecah di sana-sini dan amat mesum, dan itu jendel-jendel sekola juga banyak yang pecah atawa rengat. ....
(Hlm. 78)
....
Van Eerlijk : Itu uwang saya minta besok pagi disrahken sama directeur dari gemeente werken, yang saya nanti minta tulung buat atur dengen lekas itu pakerjaan semua, supaya ini sakola bisa lekas dibuka kombali.
(Hlm. 78)

Melalui penggunaan tuturan dari bahasa Belanda, Hoay berusaha mengakomodasi kepentingan kelas (pembaca) dari golongan Belanda. Bahkan, penulisan dialog-dialog yang dituturkan Van Eerlijk, De Zuiver, dan terutama Sauerkop dibuat seperti cara orang Belanda berbicara dengan dikombinasikan dengan bahasa Melayu-Tionghoa. Sebagaimana terdapat pada penggalan teks yang ditunjukkan di atas, seperti zekkarang (sekarang), bissa (bisa), tonghu (tunggu), passer (pasar), coomah (cuma), owrang (orang), bowat (buat), jauw (jauh), dan jendel (jendela). Cara mengakomodasi kepentingan (bahasa) yang lain, di samping kepentingan individu atau kelompoknya, merupakan gejala hegemoni, pertarungan ideologi, dan penegosiasian ideologi pengarang.
Selanjutnya yang perlu ditekankan adalah belum adanya bahasa yang diresmikan sebagai bahasa nasional pada masa penciptaan teks. Sebelum Sumpah Pemuda, bahasa Indonesia belum menjadi bahasa nasional. Bahkan, kata ’indonesia’ untuk mengacu pada wilayah geografis pun belum jamak dikenal masyarakat—masih disebut Hindia Belanda. Menurut Gramsci (dalam Faruk, 2005:74), ketidakmatangan relatif bahasa nasional tersebut dapat menciptakan kelompok intelektual. Bahasa, sebagai materi dalam media massa (sastra), berpotensi sebagai wujud hegemoni dalam suatu perang posisi.

3. Penutup
Konsepsi mengenai dunia dan kebudayaan telah digunakan Hoay untuk membuka intensitas dan ruang lingkup konflik sosial. Bahasa Melayu-Tionghoa yang digunakan Hoay dapat disengaja pemakaiannya. Hal itu dilakukan agar Korbannya Kong-Ek menjadi hidup dan dapat meninggalkan kesan yang mendalam bagi pembaca, sehingga dapat menarik perhatian dan simpati pembaca secara tidak sadar terhadap gagasan dan ideologi yang direpresentasikan. Selain itu, dengan pemakaian bahasa Melayu-Tionghoa, Korbannya Kong-Ek dapat menjangkau khalayak seluas-luasnya. Keberanian Hoay untuk tetap mengarang dalam bahasa Melayu-Tionghoa, mencetak, dan menerbitkannya secara independen di tengah-tengah pandangan hegemonik negara melalui Balai Pustaka merupakan suatu tindakan kontra-hegemoni Hoay dalam suatu perang posisi.
Jadi, Hoay telah berusaha secara sadar memenuhi fungsi sosialnya, memikirkan fungsi organisatoris dalam menyebarkan pandangan-pandangan universalnya, dan memberikan homogenitas dalam hegemoni kultural. Pada tataran tersebut, peran sebagai intelektual organik telah diwujudkan oleh Hoay dalam aktivitas mengarang Korbannya Kong-Ek.



DAFTAR PUSTAKA


Gramsci, Antonio. 2007. The Intellectuals. Diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Q. Hoare & G.N. Smith. New York: International Publishers. (Disajikan dalam bentuk arsip digital)

Hoay, Kwee Tek. 2002. “Korbannya Kong-Ek: Toonelstuk dalem Ampat Bagian”. Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 6. Marcus A.S. dan Pax Benedianto. (Ed.). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Tiara Wacana Yogya.

Milner, Andrew. 2003. ”Raymond Williams”. Teori-teori Sosial: Observasi Kritis terhadap Para Filosof Terkemuka. Peter Beilharz (Ed.). Diterjemahkan oleh Sigit Jatmiko. Cetakan ke-2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Razif. 2008. ”Bacaan Liar: Budaya dan Politik pada Zaman Pergerakan”. http://72.14.235. 104/search?q=cache:jQZglHk-R1AJ. Diakses pada 6 November 2008 pkl.19.05.

Simon, Roger. 2004. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Diterjemahkan oleh Kamdani dan Imam Baehaqi. Cetakan ke-4. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sumardjo, Jakob. 2004. Kesusasteraan Melayu-Rendah Masa Awal. Yogyakarta: Galang Press.


[1] Tulisan ini adalah salah satu bagian dari bab Formasi Ideologi dalam skripsi ”Hegemoni sebagai Struktur Ideologi dan Budaya dalam Teks Drama Korbannya Kong-Ek Karya Kwee Tek Hoay”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar