Kamis, 25 Desember 2008

KARAKTERISTIK SENI PERTUNJUKAN



Di antara syarat yang menandai seni pertunjukan dimungkinkan dari situasi yang melingkupinya: unsur-unsur dalam latar, misalnya perkembangan tata panggung, prosenium atau altar; hiasan atau dekorasi khusus, misalnya tata busana atau tata rias; latar belakang, misalnya festival musiman atau hari libur. Semua pertunjukan, seperti halnya komunikasi, tergantung pada situasi, ketetapan, dan makna yang dikandung dalam konteks situasi sosial. Studi perbandingan dari pertunjukan, bagaimanapun juga, memiliki tujuan tertentu untuk menekankan peristiwa tesebut adalah kriteria yang ditunjukkan, yang disebut oleh antropolog Amerika, Milton Singer, “pertunjukan budaya”. Pertunjukan budaya bertujuan untuk menjadi suatu pertunjukan yang paling utama dalam sebuah kelompok masyarakat dan untuk berbagi corak karakteristik.
Pada mulanya, peristiwa tersebut bertujuan untuk menyusun jadwal dan menyiapkan segala kebutuhan. Termasuk juga, batasan sementara dalam permulaan dan akhir; batasan yang ditetapkan dalam suatu tempat yang ditandai, sementara atau tetap, seperti gedung teater, tempat festival, atau tempat suci. Dengan batasan waktu dan tempat, pertunjukan budaya telah disusun dengan ketentuan struktur atau susunan kegiatan, seperti pada lima unsur akting dalam drama Elizabethan atau struktur liturgis upacara kematian Iroquois. Ada empat jenis pendukung, sebagai bagian dari makna pertunjukan budaya, yaitu masyarakat pendukung, terbuka untuk penonton umum dan partisipasi bersama; hal itu menyebabkan orang untuk datang bersama. Lebih dari itu, termasuk juga bentuk yang telah disusun dan bentuk estetik yang dicapai dalam suatu pertunjukan dan pelaku yang dipilih dalam kelompoknya, misalnya peristiwa pertunjukan yang dihadirkan, yang disediakan untuk memberi pengalaman melalui kepuasan yang ditunjukkan dalam penampilannya.
Dimungkinkan dalam alasan utama dari pertunjukan budaya adalah untuk pembelajaran pada masyarakat yang mengalami refleksi dari ungkapan budaya. Seorang sarjana Amerika, Barbara Babcock, menyebutkan bahwa istilah refleksi merujuk pada dua kandungan arti terkait dengan pertunjukan, keduanya didasarkan pada kapasitas dari pengertian sistem manapun untuk membuat suatu objek masuk ke dalam dirinya sendiri dan untuk menunjuk dirinya sendiri, dengan begitu akan memperluas pandangan terhadap pengorganisasian dan membuat pola utama dalam sistem yang telah jadi.
Pada awalnya, pertunjukan adalah refleksi secara formal—mengartikan arti—selama disebut sebagai inti dan melibatkan kesadaran diri yang dimanipulasi dari unsur formal dari sistem komunikasi (gerakan tubuh pada tarian, bahasa dan nada dalam lagu, dan sebagainya), yang dilakukan paling sedikit satu kesadaran terhadap peralatan. Dalam cakupannya, pertunjukan dapat dilihat sebagai metabudaya dengan luas, arti sebuah pertunjukan yang menjadi objek dan diungkapkan dalam suatu penelitian ke dalam dirinya sendiri, sebagai kebudayaan adalah sistem dari pengertian sistem. Selanjutnya, Singer, dalam usahanya untuk memahami kultur India yang kompleks, memusatkan perhatiannya pada contoh bentuk kebudayaan seperti permainan-permainan, pergelaran-pergelaran, ceramah-ceramah, bacaan-bacaan dalam ritual dan hafalan-hafalan, upacara-upacara, peringatan-peringatan, dan festival, karena itu dia mengatakan, “persahabatan orang India berpikir tentang budaya mereka yang terpisah ini, yang bisa mereka perlihatkan kepada pengunjung dan kepada diri mereka sendiri.”
Refleksi adalah suatu bentuk yang lebih kuat dibanding arti yang dikandung dalam pencerminan, yang ditunjukkan oleh pertunjukan dan bentuk kesenian lain sebagai pencerminan, bayangan dari kaca (meskipun demikian mungkin ada yang berbeda, misalnya di dalam rumah bermain) tentang beberapa kenyataan budaya primer seperti nilai-nilai, pola tindakan, struktur hubungan sosial, dan yang disebut—sebuah pandangan “seni untuk hidup”. Pembelajaran pertunjukan yang terbaru di dalam antropologi, seperti yang dikerjakan oleh Roger Abrahams, Clifford Geertz, Richard Schechner, dan Victor Turner, yang memperlihatkan bahwa pertunjukan budaya mungkin menjadi gaya primer dari wilayah yang menjadi hak mereka sendiri, yang dimuat di dalam laku performatif daripada yang diperlihatkan secara eksplisit, nilai-nilai atau kepercayaan yang diucapkan, pemahaman orang tentang kenyataan sekarang dan tindakan yang diimplikasi dari kenyataan itu. Analisis Geertz tentang wilayah ritual yang dia sebut “tempat pertunjukan Bali di abad ke-19” yang lebih menekankan tentang hal di atas.
Sebagai tambahan untuk bentuk refleksi, pertunjukan adalah refleksi terhadap kepekaan psiko-sosial. Sejauh dilihat sebagai gaya pada pertunjukan yang didasari dari pribadi yang mempertunjukkan (aktor di atas panggung, pembawa cerita di depan perapian, festival penari di alun-alun desa) sebagai objek untuk dirinya sendiri sebagaimana kepada pihak lain, terutama pertunjukan yang lebih menekankan dan memanfaatkan segi pemeranan dan pandangan yang melihat sejarah dari dirinya, di dalam proses filosof sosial dan psikolog sosial George Herbert Mead dan orang lain yang seperti dia telah mengenal sesuatu yang membanngun dirinya. Tentu saja, Mead mengutip dari keberhasilan drama dalam memperlihatkan situasi yang dirasakan dan dialami oleh orang lain. Dimensi kesadaran atas kesadaran seperti itu bukanlah, tentu saja, terbatas pada pertunjukan budaya tapi mungkin juga di dalam lingkungan sosial manapun; rasa yang “ada” atau yang dibuat “untuk direkam” selama tindakan sosial berkesinambungan dengan pertunjukan di dalam pengertian umum yang berkembang. Bagaimanapun juga, apabila kualitas pertunjukan memberikan interaksi yang menarik dapat memberikan arti metaforik yang lebih kecil daripada yang diberikan variasi pertunjukan teater yang patut dilestarikan “hidup seperti dalam teater”, analogi yang dikembangkan dengan baik di dalam bentuk konvensi teater atau drama yang menekankan pada sisi metafor.

*) Tulisan ini merupakan terjemahan atas salah satu bagian dari Folklore, Cultural Performance, and Popular Entertainment. Richard Bauman. (Ed.). New York: Oxford University Press. 45-48

Tidak ada komentar:

Posting Komentar