Kamis, 25 Desember 2008

PERAN MASYARAKAT TIONGHOA PADA AWAL MULA MUNCULNYA TEKS DRAMA MODERN DI INDONESIA

1. Pendahuluan
Teks drama, sebagai salah satu genre sastra, tidak terlepas dari kenyataan dan konflik sosial-politik pada saat penciptaannya. Sedangkan, pengarang teks drama, sebagai anggota masyarakat, terikat pada status sosial tertentu. Segi bahasa (medium) sebuah teks drama merupakan alat pengutaraan pendapat atau propaganda (ideologis) kepada masyarakat (penonton) (Harymawan, 1988:6).
Di samping itu, menurut Faruk (2005:78), kesusastraan tidak lagi dipandang semata-mata sebagai gejala kedua yang tergantung dan ditentukan oleh masyarakat kelas sebagai infrastruktur, melainkan dipahami sebagai kekuatan sosial, politik, dan kultural yang berdiri sendiri, yang mempunyai sistem tersendiri, meskipun tidak terlepas dari infrastrukturnya.
Keberagaman lingkungan pergaulan sosial di Indonesia memberikan banyak peluang untuk mengembangkan dan memperkuat keberdirian negara-bangsa Indonesia menghadapi perubahan-perubahan. Dengan pengalaman sejarah yang panjang, negara-bangsa Indonesia, terutama elit intelektual dan politik, menyadari potensinya untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan itu. Menurut Anderson (dalam Faruk, 2001:179), bangsa-bangsa selalu membayangkan secara samar-samar suatu masa lalu yang tidak terlupakan, dan bahkan meluncurkan masa depan yang tidak terbatas. Dengan kata lain, suatu bangsa hendak menyadari untuk mampu melakukan tindakan adaptatif terhadap perubahan dengan menilik masa lalu untuk mempersiapkan hal-hal yang akan dan harus dilakukan. Di lain hal, tindakan adaptatif itu juga perlu untuk menyatukan berbagai kepentingan faksional ke dalam suatu kehendak kolektif, yang disebut oleh Gramsci sebagai blok historis (historical bloc). Blok historis merupakan kesatuan segala dimensi masyarakat dalam kehidupan kelas-kelas sosial (Simon, 2004:29).
Hal di atas menunjukkan bahwa pengarang (teks drama), sebagai bagian dari masyarakat, telah memotret situasi sosial yang terjadi di dalam negara-bangsa. Melalui pandangan pengarang, problematika kehidupan diangkat, ditanggapi, dan disajikan ke dalam suatu teks drama. Hal tersebut menyatakan bahwa teks drama, yang juga suatu institusi sosial, mampu memberi inspirasi, informasi, instigasi (dorongan), dan bahkan bentuk insinuasi (sindiran) serta instruksi kepada masyarakat agar lebih siap dan menyadari dalam menghadapi setiap perubahan di lingkungannya. Hal tersebut mencerminkan pengarang teks drama berusaha melakukan tindakan adaptatif sebagai upaya menghadapi perubahan berikut konflik di dalamnya. Teks drama mampu menjadi alat pengutaraan pendapat (propaganda) sebagaimana telah disebutkan di atas. Dengan begitu, teks drama dan pengarangnya mempunyai peranan penting dalam lingkungan sosial-budaya beserta perkembangannya.

2. Munculnya Teks Drama Modern
Perkembangan konsep teater Barat di Indonesia sekitar pertengahan abad ke-19 di kalangan masyarakat Belanda dengan segera berkembang di kalangan masyarakat Tionghoa, sekaligus juga di lingkungan masyarakat Indonesia, terutama masyarakat perkotaan (Sumardjo, 2004-b:240). Perkembangan ini disertai pula dengan kemunculan berikut perkembangan kepenulisan teks drama. Penggunaan teks drama dalam menggelar pertunjukan teater inilah yang membedakan ciri teater Barat (modern) dengan teater tradisional Indonesia.
Munculnya teks drama sebagai bagian dari perkembangan karya sastra yang modern di Indonesia beriringan dengan perkembangan masyarakat (kota) Indonesia yang bersifat plural, ekonomis, dan modern, terutama pada akhir abad ke-19. Masyarakat perkotaan saat itu terdiri atas kelompok-kelompok sosial Eropa (Belanda), Indo-Eropa, Arab, Cina (saat itu belum mengenal istilah ’tiongkok’ maupun ’tionghoa’), dan Indonesia (pribumi) (Sumardjo, 2004-b:242). Kelompok sosial Belanda dan Cina memiliki kedudukan yang lebih dominan dari kelompok sosial lainnya. Kelompok sosial Belanda dominan pada bidang politik, sedangkan kelompok sosial Cina pada bidang ekonomi. Dua kelompok sosial ini kurang mengenal bentuk asli teater Indonesia (teater tradisional), sehingga dapat dinyatakan bahwa dua kelompok tersebut lebih bergerak pada perkembangan teater modern Indonesia, terutama kepenulisan teks drama.
Kelompok sosial Cina sendiri terdiri atas golongan totok dan golongan peranakan. Golongan totok merupakan orang-orang yang murni lahir dari keturunan asli Cina. Golongan ini masih menggunakan bahasa Cina sebagai bahasa keseharian. Sedangkan, golongan peranakan merupakan orang-orang dilahirkan oleh orang tua yang salah satunya adalah orang pribumi, kebanyakan dari pihak ibu. Bahasa yang umum digunakan golongan ini adalah bahasa lokal atau daerah (wilayah individu itu berada) dan tidak sedikit yang berbahasa Melayu, terutama Melayu-Rendah. Jumlah golongan peranakan jauh lebih besar daripada golongan totok. Sebagian besar golongan peranakan ini telah terputus kultur hidupnya dengan Cina sekaligus belum begitu mengenal kultur Indonesia (Sumardjo, 2004-b:242).
Golongan peranakan inilah yang paling berperan penting bagi perkembangan teater modern dan kesusastraan modern, terutama teks drama, di Indonesia (cf. Suryadinata, 1996:52—56). Nama-nama tokoh, seperti Yap Goan Tay sebagai pendiri Komedie Stambul (kelompok perintis perkembangan teater modern di Indonesia); Tio Tik Djien sebagai pemilik modal dan pimpinan Miss Riboet’s Orion (kelompok peletak dasar teater modern Indonesia dan pelopor penggunaan teks drama asli, bukan terjemahan atau saduran); Nyoo Cheong Seng yang menjadi penulis teks drama untuk Miss Riboet’s Orion, sekaligus pada masa selanjutnya berperan penting dalam perkembangan film di Indonesia; Lauw Giok Lan sebagai pemikir, pengamat teater, penerjemah teks drama Eropa, dan kritikus teater Indonesia modern masa awal; dan Kwee Tek Hoay yang mampu mengarang banyak novel dan teks drama sekaligus seorang agamawan, pengamat sosial-politik, dan pembela kepentingan perempuan; kesemua tokoh tersebut berpengaruh besar dalam perkembangan teater dan teks drama pada khususnya serta perkembangan budaya dan masyarakat Indonesia yang modern pada umumnya.


3. Peran Masyarakat Tionghoa
Permulaan timbulnya penciptaan dan penggunaan teks drama dalam pertunjukan teater dapat ditelusuri mulai dari munculnya teks drama Kapitein Item. Teks drama ini dapat dikatakan sebagai teks drama berbahasa Melayu-Rendah yang tertua di Indonesia (Sumardjo, 2004-a:139). Kapitein Item yang tidak diketahui penulisnya muncul pada 1898 dan kemudian dipertunjukkan di dalam schouwburg (gedung pertunjukan) di Batavia saat Wilhelmina dari Belanda dinisbatkan sebagai ratu pada tahun itu juga.
Pada 1901 F. Wiggers tercatat sebagai penulis teks drama pertama melalui karyanya yang berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno. Teks drama berbentuk satu babak tersebut diterbitkan oleh Oeij Thaij Hin, Batavia (Jakarta) dalam kemasan buku saku setebal 56 halaman (Sumardjo, 2004-a:121). Akan tetapi, teks drama berbahasa Melayu-Rendah dan berstruktur dramatik yang tertata tersebut tidak jelas keperluan kepenulisannya (Sumardjo, 2004-b:242). Menurut Sumardjo (2004-a:129), meskipun ditulis seperti cara penulisan teks drama klasik Eropa, karya F. Wiggers ini cenderung semata-mata untuk keperluan bacaan sastra, bukan untuk bahan pertunjukan teater.
Sebelumnya, pada awal 1900 didirikan Tiong Hoa Hwe Koan, suatu organisasi yang bermaksud mengembalikan adat-istiadat leluhur di kalangan masyarakat Tionghoa. Selanjutnya, pada 3 Juni 1900 Tiong Hoa Hwe Koan dinyatakan sebagai organisasi yang sah dan berketetapan hukum oleh pemerintah Hindia Belanda (Hoay, 2001:424). Melalui berdirinya Tiong Hoa Hwe Koan ini, terutama bagi masyarakat Cina, akhirnya dikenal luas istilah ’tionghoa’ dan ’tiongkok’ (Hoay, 2001:412). Istilah ’tionghoa’ mengacu pada keetnisan (Cina), sedangkan ’tiongkok’ mengacu pada tanah asal. Orang Tionghoa adalah orang Tiongkok atau keturunan orang Tiongkok yang bermukim di Indonesia. Di lain hal, Tiong Hoa Hwe Koan juga berperan penting dalam memunculkan orang-orang Tionghoa yang terpelajar, termasuk para sastrawan, yang turut berperan dalam dinamika sosial-politik saat itu.
Pada 1912 terbit teks drama yang berjudul lengkap Boekoe Rol Opera Derma T.H.D.H.H di Tangerang, Tjerita Harta jang Berbahaja: Satoe Nasehat jang Baek aken sebagi Toeladan (Sumardjo, 2004-a:129). T.H.D.H.H di atas merupakan singkatan dari Tiong Hoa Djien Ho Hie, suatu nama kelompok opera derma dari Tangerang. Teks drama yang tidak diketahui pengarangnya ini diterbitkan oleh Typ. Hoa Siang in Kiok, Batavia. Walaupun tidak diketahui pengarangnya, buku ini dicetak untuk dijual menjelang pertunjukannya, sehingga dapat disimpulkan bahwa teks drama di atas merupakan untuk keperluan pertunjukan (Sumardjo, 2004-a:133).
Selanjutnya, pada 1913 Electriche Drukkerij Tjiong Keon Bie, Batavia menerbitkan teks drama setebal 172 halaman karya terjemahan Lauw Giok Lan yang berjudul lengkap Karina-Adinda, Lelakon Komedie Hindia Timoer dalem Tiga Bagian (Sumardjo, 2004-a:133). Lauw Giok Lan menerjemahkan teks drama tersebut dari teks drama Karina-Adinda, Oost Indisch Zedenspel in 3 Bendrijven karya Hans van de Wall atau yang biasa dikenal dengan nama Victor Ido (Sumardjo, 2004-a:133; cf. Oemarjati, 1970:28). Menurut Nio Joe Lan (dalam Oemarjati, 1970:28), teks drama di atas ditulis untuk keperluan kelompok teater Dardanella. Dardanella beserta generasi sebelumnya, yaitu Teater Bangsawan, Komedie Stamboel, Opera Derma, dan Miss Riboet’s Orion, adalah perintis konsep teater modern di Indonesia. Lauw Giok Lan juga adalah perintis penulisan teks drama berbahasa Melayu-Rendah di kalangan Tionghoa, sekaligus yang membuat Kwee Tek Hoay tertarik untuk mengarang teks drama. Lauw Giok Lan menyatakan seperti yang dikutip oleh Sumardjo (2004-a:134),
”Dengen rapinya kita, bangsa Tionghoa-peranakan, empunya pertunjukan komedie laen bangsa, jadi bisa dapet perasaan, bahuwa dengan sasunggunya kita suda bertindak di jalanan kamajuan.”
Pada akhirnya, Kwee Tek Hoay tergerak untuk menulis teks drama. Teks drama pertama Kwee Tek Hoay berjudul Allah yang Palsu yang ditulis pada 1919. Berbeda dengan Lauw Giok Lan yang menerjemahkan teks drama secara utuh, Kwee Tek Hoay menyadurnya. Allah yang Palsu adalah saduran dari cerpen karya Edward Phillip Oppenheim yang berjudul The False Gods (Sumardjo, 2004-b:112). Dengan begitu, teks drama pertama karya Kwee Tek Hoay ini dapat dinyatakan asli sekaligus menjadi pelopor dan tonggak penulisan teks drama untuk keperluan pertunjukan teater dalam sastra Indonesia modern. Menurut Soemardjo (2004-b:243), teks drama Allah yang Palsu ini menunjukkan suatu bentuk teks drama yang benar-benar modern. Hal tersebut terlihat dari segi dramaturginya (dramatic art), pencantuman nama tokoh, dialog, penggambaran latar ruang, laku tokoh, dan konvensi pembabakan menurut Aristotles. Dengan kata lain, teks drama ini memiliki premis, karakter, dan plot, serta memuat ketegangan (spanning) dalam ceritanya.
Teks drama Allah yang Palsu juga diterbitkan oleh Electriche Drukkerij Tjiong Keon Bie, Batavia pada 1919 sebanyak 1000 eksemplar (Sumardjo, 2004-a:140). Inti cerita Allah yang Palsu ini mengenai kakak-adik yang memiliki karakter yang bertolak belakang. Tan Kioe Lie, kakak Tan Kioe Gie, merupakan seorang yang egois, pembohong, dan kikir. Sedangkan, Tan Kioe Gie adalah orang yang jujur, sederhana, dan dermawan. Keduanya tinggal di Cicurug, Bogor yang kemudian merantau ke Batavia. Teks drama yang bersifat didaktis ini akhirnya memunculkan Tan Kioe Gie sebagai ”pemenang”.
Yang perlu ditekankan di sini adalah teks drama Allah yang Palsu karya Kwee Tek Hoay yang telah berciri-ciri sebuah teks drama modern ini telah muncul tujuh tahun sebelum munculnya teks drama Bebasari karya Rustam Effendi. Bebasari yang muncul pada 1926 telah lama dianggap sebagai teks drama pertama dalam sastra Indonesia modern. Melihat kenyataan ini patut dilakukan penelitian terhadap kedudukan sastra Melayu-Tionghoa yang disisihkan sebagai bagian integral dalam sastra Indonesia modern.
Kepengarangan Kwee Tek Hoay dalam penulisan teks drama belum berhenti. Pada Januari 1926, tahun yang sama dengan munculnya Bebasari, Kwee Tek Hoay telah merampungkan karya yang kedua, yaitu Korbannya Kong-Ek; Tooneelstuk dalem Ampat Bagian. Teks drama yang diterbitkan oleh Hap Sing Kong Sie, Semarang pada tahun yang sama ini merupakan saduran dari teks drama An Enemy of the People (1862) yang diciptakan oleh Henrik Ibsen (Sidharta, 2004:10). Sebelumnya, pada 1923 Ang Jan Goan telah menerjemahkan teks drama karya Ibsen tersebut ke dalam bahasa Melayu-Rendah dengan judul Moesoehnja Orang Banjak (Sumardjo, 2004-b:278). Menurut Salmon (dalam Suryadinata, 1996:16), Kwee Tek Hoay menyadur teks drama dari Ibsen tersebut terutama pada plotnya. Oleh karena itu, Korbannya Kong-Ek dapat dinyatakan sebagai karya Kwee Tek Hoay, seperti halnya Allah yang Palsu.
Pada tahun-tahun berikutnya produktivitas kepenulisan teks drama berkembang pesat. Hal itu disebabkan mulai berkembang pula kesadaran dan kebutuhan masyarakat mendapatkan pendidikan. Lebih dari itu, terutama pada 1928, terselenggaranya Kongres Pemuda I dan II yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda makin menggugurkan sifat-sifat kedaerahan dalam masyarakat, termasuk juga masyarakat Tionghoa. Rasa kesatuan Indonesia itu semakin memperluas ruang gerak pendidikan, pers, dan institusi-institusi sosial lainnya untuk menyebarkan semangat meraih kemerdekaan dan kecerdasan bangsa. Walaupun riak-riak kecil diskriminasi etnis dan strategi koersif pemerintah masih ditemui.

4. Kesimpulan
Melalui tulisan ini dapat diamati bahwa peran masyarakat Tionghoa dalam perkembangan teks drama modern di Indonesia sangat besar, bahkan boleh dikatakan sangat dominan. Pergerakan masyarakat Tionghoa di bidang penulisan teks drama juga diiringi dengan perkembangan teater modern Indonesia. Teks drama dan teater merupakan institusi sosial yang mampu berperan dalam membentuk dan mengubah formasi sosial. Dengan mengamati sejarah teks drama modern di Indonesia, masyarakat mutakhir Indonesia dapat diilhami oleh semangat kreatif yang diteladankan oleh masyarakat Tionghoa saat itu. Kreativitas atau daya cipta yang produktif dan aktif mulai luntur dalam dinamika sosial di Indonesia. Tindakan-tindakan yang cenderung konsumtif dan ’terima pakai’ lebih dipilih oleh masyarakat Indonesia sekarang ini. Padahal, kekuatan kreatif dapat memberikan daya tahan lebih dalam menghadapi perubahan-perubahan modern yang serba cepat seperti sekarang.



DAFTAR PUSTAKA

Faruk. 2001. “Menghidupkan Sastra Peranakan Cina”. Beyond Imagination: Sastra Mutakhir dan Ideologi. Faruk (Ed.). Yogyakarta: Gama Media.

____. 2005. Pengantar Sosiologi Sastra. Cetakan ke-4. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Harymawan, R.M.A. 1988. Dramaturgi. Bandung: Rosda.

Hoay, Kwee Tek. 2001. ”Asal Mulanya Timbul Pergerakan Tionghoa yang Modern di Indonesia”. Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 4. Marcus A.S. dan Pax Benedianto. (Ed.). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Oemarjati, Boen Sri. 1970. Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.

Simon, Roger. 2004. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Diterjemahkan oleh Kamdani dan Imam Baehaqi. Cetakan ke-4. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sumardjo, Jakob. 2004-a. Kesusasteraan Melayu-Rendah Masa Awal. Yogyakarta: Galang Press.

_____________. 2004-b. Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia. Bandung: STSI Press.

Suryadinata, Leo. 1996. ”Dari Sastra Peranakan ke Sastra Indonesia”. Sastra Peranakan Tionghoa. Leo Suryadinata (Ed.). Jakarta: Grasindo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar