Kamis, 25 Desember 2008

DRAMA YUNANI SEBAGAI AKAR DRAMA MODERN




1. Awal Mula Drama di Yunani
Awal mula munculnya drama adalah pemujaan kepada dewa Dionisius (dewa anggur dan kesuburan) pada sebuah festival di Yunani. Menurut buku A History of the Theatre, pemujaan tersebut berasal dari Mesir kuno. Teks piramid yang bertanggal 4000 SM adalah naskah Abydos Passion Play. Bukti berupa adanya aksi (action) dan tokoh di dalam naskah tersebut menunjukkan bahwa itu adalah teks drama. Di samping itu para pakar membuktikan adanya beberapa baris yang di dalamnya para tokoh mengidentifikasikan diri mereka sebagai “Saya Horus”, “Saya Nut” (Reeves, 1955: 18 dan 28, dalam Soemanto, 2001: 12)
Seperti halnya di Indonesia, bentuk awal drama dan teater Barat juga berasal dari ritual keagamaan. Meskipun sifat kegiatan ritual keagamaan di Barat tidak sepuitis di Timur, bentuknya lebih kepada pemaparan (penceritaan). Dalam tulisan ini dicontohkan awal mula drama di Yunani kuno. Di wilayah tersebut, sekelompok manusia, dengan cara mengarak seekor kambing yang sudah dihias, digiring keliling pasar dan tempat keramaian lainnya dengan berbagai iringan dan bunyi-bunyian. Rombongan tersebut menceritakan tentang salah satu dewa mereka kepada para penonton yang menyaksikan di sepanjang jalan. Bila perhatian penonton tinggi, arak-arakan akan memperlambat atau menghentikan arakannya dan memberikan kesempatan pada narator untuk mengisahkan kejadian. Baru kemudian upacara-upacara ritual keagamaan dilakukan di tempat-tempat khusus.
Orang Yunani Kuno yang hidup kurang lebih tahun 500 SM, memuja dewa-dewi mereka dengan menirukan tingkah laku dewa-dewi mereka di depan candi mereka. Peniruan yang dilakukan terhadap tingkah laku para dewa atau satu dewa itulah yang menjadi titik tolak kehidupan teater (Barat). Singkatnya, teater di Yunani berkembang pesat ketika orang Yunani Kuno mulai membuka sayembara penulisan naskah-naskah untuk festival perayaan dalam rangka menghormati Dewa Dionisius.
Pada zaman keemasannya, teater di Yunani megalami perkembangan dari teater upacara ke teater estetik, dari teater yang bersifat sakral ke arah teater yang merupakan ekspresi seniman sebagai individu. Kalau pada awal kelahiran teater (Barat) Thespis, aktor pertama yang memasukkan seni peran ke dalam upacara agama, masih tidak melepaskan sifat upacara yang bersifat sakral tokoh-tokohnya, secara perlahan tokoh-tokoh tersebut semakin menjauh dari sifat sakral itu. Di dalam Oidipus Sang Raja, misalnya, Sopochles tidak lagi mengagungkan dewa-dewa, akan tetapi malah meragukan keadilan mereka. Euripides yang jauh lebih muda, malah menyerang dewa-dewa melalui dramanya. Aristhophanes mengolah masalah-masalah duniawi (profane), seperti kekonyolan tokoh-tokoh masyarakat ketika itu, misalnya filsuf Sokrates, dalam ceritanya yang berjudul Awan, atau kekonyolan perang dan politik di dalam cerita Lysistrata.

3. Jenis Pertunjukan
Di dalam perkembangannya, terdapat dua jenis pertunjukan drama atau teater yang saat itu muncul di Yunani, yaitu:
3.1. Tragedi
Tragedi bersifat ritual keagamaan, sehingga pertunjukannya berlangsung serius, khidmat, puitis, dan filosofis. Tokoh-tokoh di dalam drama jenis ini selalu menghadapi dilema moral yang sulit meskipun mereka mempunyai kelebihan tertentu dibanding manusia biasa lainnya. Tragedi di Yunani Kuno terdiri dari beberapa episode dan diiringi nyanyian koor yang biasanya berupa kode.
Beberapa tokoh drama tragedi Yunani adalah:
3.1.1. Aeskillos (525-456 SM), karya-karyanya yang terkenal adalah Trilogi Oresteia yang terdiri dari Agamemon, Pembawa Korban, dan Para Pemberang. Karya lainnya Orang-orang Persia, Prometheus Dibelenggu, dan Para Pemohon.
3.1.2. Sophocles (496-406 SM), karya-karyanya yang terkenal adalah Trilogi Oidipus yang terdiri dari Oidipus di Colonus, Oidipus Sang Raja, dan Antigone. Karyanya yang lain adlah Ajax, Wanita-wanita Trachia, dan Electra.
3.1.3. Euripides (484-406 SM), karya-karyanya antara lain Hercules, Putra-putra Hercules, Medea, Wanita-wanita Troya, serta karya sastranya yang berjudul Cyclop.
3.2. Komedi
Komedi berasal dari kata Komoida, yang berarti membuat gembira, sehingga drama komedi dimaksudkan sebagai drama yang membawa kabar gembira, misalnya kemenangan perang, kepahlawanan, dan lain-lain. Jenis ini dibagi menjadi dua berdasarkan tema cerita yang dipentaskan. Komedi yang bertema sosial, politik, dan kenegaraan adalah komedi lama, sedangkan komedi yang bertema kehidupan rumah tangga dan keseharian adalah komedi baru.
Tokoh-tokoh daram komedi Yunani Kuno yaitu:
3.2.1. Aristhophanes (445-385 SM), karya-karyanya antara lain Para Perwira, Lysistrata, dan Burung-burung. Ia merupakan tokoh komedi lama.
3.2.2. Menander (349-291 SM), karyanya yang dikenal hanya satu, yaitu Rasa Dongkol. Ia merupakan tokoh komedi baru.

4. Fenomena Cerita Drama-drama Yunani Kuno
Selain merupakan realitas, kehidupan manusia juga merupakan realitas yang secara langsung dapat didekati, lantaran kehidupan manusia merupakan kehidupan yang layak, usaha terbaik untuk itu adalah berusaha memahaminya. Pada kebudayaan Yunani Kuno, nilai-nilai kemanusiaan lebih penting daripada di berbagai kebudayaan kuno lainnya di dunia, bahkan di kebudayaan Yunani, kesatuan hidup dapat dipahami dalam istilah-istilah agamis.
Hal di atas tercermin pada salah satu cerita drama tragedi berjudul Antigone karya Sophocles. Antigone adalah sebuah lakon yang mengedepankan tafsir modern salah seorang dramawan Prancis yang paling populer sejak perang dunia kedua, Jean Anouilh (1910-1987), terhadap makna eksistensial yang terkandung dalam tragedi Antigone. Naskah ini termaktub dalam trilogi Yunani klasik karya Sophocles; Oedipus Sang Raja, Oediphus di Kolonus dan Antigone. Jean menulis naskah ini pada tahun 1944 yang semula dimaksudkan sebagai ungkapan resistensi dan sikap menolak tunduk pada kesewenang-wenangan NAZI, tokoh Antigone merupakan wakil dari sebuah kekuatan semangat yang menentang dan menyerukan perlawanan terhadap tirani raja Creon.
Naskah Antigone merupakan salah satu dari puluhan naskah Yunani yang masih ada, di mana naskah-naskah itu ditulis tiga orang penulis, masing-masing Aeskhillos, Sophocles, dan Euripides. Khusus Sophocles, setiap naskahnya selalu melukiskan manusia seperti seharusnya, bukan apa adanya. Dalam drama-drama Sophocles tidak mempersoalkan kejahatan dan hukumnya yang abstrak. Namun ia lebih mengutamakan perjuangan tokoh kuat dalam melawan nasibnya. Pola drama Sophocles selalu memunculkan tokoh pribadi kuat. Jalan yang ditempuh tokohnya selalu berat dan sulit serta menderita, tapi sikap ini justru membuat sang tokoh makin mulia dan berperikemanusiaan.
Sepanjang hidup, Sophocles menulis ratusan naskah namun hanya tujuh naskah saja yang tersisa, yakni Wanita-Wanita Trachia, Ajak, Antigone, Oeidiphus Sang Raja, Oeidiphus di Kolonus, Electra, dan Philocteles.
Tokoh Antigone merupakan tokoh wanita heroik yang berani berkata tidak pada saat banyak orang berkata ya, mati merupakan sebuah pilihan yang terbaik, karena di mata Antigone, perempuan kecil, kurus, dan kurang cantik ini kematian merupakan tiket mahal untuk pengganti senjata melawan tirani. Antigone rela dirinya dihukum gantung demi keselamatan rakyatnya.
Penggambaran tokoh yang demikian, meski ditulis Sophocles ratusan tahun lalu, masih relevan untuk sindiran kehidupan nyata hari ini, di mana saja, di negeri mana pun. Sebab pemikiran teater sebagai sebuah pemanggungan peristiwa, juga merupakan kesadaran kolektif sosial manusia, sebuah pertunjukan teater –mungkin– bisa jadi sebuah kegiatan yang menyentuh kesadaran manusia.
Antigone boleh jadi merupakan ironi bagi kenyataan hidup masa kini. Sebuah kekuasaan yang mengatasnamakan demokrasi, atas nama stabilitas nasional, atas nama kepentingan rakyat, yang ternyata hanya bertujuan untuk menumpuk harta kekayaan serta kepentingan kelompok, akhirnya akan luluh juga, meskipun membutuhkan waktu yang panjang. Semangat juang Antigone dan normalnya diri sebagai wanita yang jatuh cinta terhadap lawan jenis. Sayang ternyata pria idamannya, Hermon, berselingkuh dengan Ismene, saudara sepupunya. Kenyataan ini tak membuat ia putus asa berjuang mempertahankan kekuatan cinta terhadap perdamaian.
Dalam Antigone, semua terjawab bahwa cinta mampu mengalahkan pemerintahan yang korup, kekuatan cinta tak mampu dibendung dengan senjata atau hukuman mati sekalipun, lalu apakah Antigone pun mampu mengubah segalanya.

5. Penutup
Tulisan di atas dapat diambil beberapa hal penting menyangkut sejarah drama dan teater (Barat) yang awal mula perkembangannya berada di Yunani tahun 500 SM, yaitu (1) fenomena munculnya kesenian pertunjukan berawal dari ritual-ritual keagamaan yang sakral, yang kemudian bergeser menjadi sarana ekspresi individu sehingga mengurangi kesakralan ritus sebelumnya. Hal ini diakibatkan karena kesenian pertunjukan (drama) mencoba memposisikan diri sebagai aktualisasi di dalam suatu kelompok masyarakat agar masih mempunyai masyarakat pendukung. (2) Aktualisasi di dalam drama memberikan kedudukan drama sebagai kebutuhan, karena pemahaman sebuah cerita di dalam drama harus mendalam dan memenuhi syarat estetik. Drama sebagai suatu kegiatan dan lembaga dapat memberikan nilai-nilai. Nilai-nilai itu yang bersatu (koheren) dalam teater itu sendiri, yaitu nilai-nilai budaya, moral, dan keindahan.



SUMBER PUSTAKA

Asmara, Adhy. 1983. Cara Menganalisa Drama. Yogyakarta: Nur Cahaya
Harymawan. 1994. Dramaturgi. Yogyakarta: ASDRAFI
Saini. 2002. Kaleidoskop Teater Indonesia. Bandung: STSI Press
Soemanti, Bakdi. 2001. Jagat Teater. Yogyakarta: Media Pressindo
Sumardjo, Jakob. 2004. Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia. Bandung: STSI Press
Hasanuddin. 1996. Drama: Karya Dalam Dua Dimensi (Kajian Teori, Sejarah, dan Analisis). Bandung: Angkasa.

SUMBER DARI INTERNET

http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar