Kamis, 25 Desember 2008

PENGGUNAAN BAHASA DALAM KARYA SASTRA

[1]


1. Pendahuluan
Bahasa adalah media sastra yang bersifat materi. Bahasa dijadikan sarana penting untuk melayani fungsi hegemonis. Pengelompokan sastra memang berpijak pada bahasa yang digunakan. Akan tetapi, bahasa bukan yang terpenting karena pada dasarnya bahasa adalah alat komunikasi sosial suatu masyarakat. Yang lebih penting adalah isi atau muatan yang ingin disampaikan melalui bahasa itu (Sumardjo, 2004:251). Kebudayaan dapat ditelusuri melalui aktivitas keseharian (unsur umum), termasuk penggunaan bahasa dalam berkomunikasi (Williams, 1958:311 dalam Milner, 2003:378). Menurut Williams, sastra sebagai struktur perasaan dari suatu kebudayaan mengandung suatu makna yang hidup dan aktual yang memungkinkan terjadinya komunikasi kemudian dimanfaatkan secara alamiah dan hegemonik (Williams, 1961:64—65 dalam Milner, 2003:379).
Menurut Sumardjo (2004:253), bahasa Melayu-Tionghoa berakar pada bahasa Melayu. Bahasa Melayu terbagi atas dua bagian, yaitu sebagai bahasa tulis dan bahasa lisan. Bahasa tulis hanya dikenal secara aktual di lingkungan pengguna bahasa Melayu, terutama golongan bangsawan. Bahasa Melayu tulis lazim dikenal sebagai bahasa Melayu Riau atau bahasa Melayu-Tinggi. Bahasa Melayu-Tinggi ini kemudian dijadikan suatu kebakuan dalam penyaringan karya-karya yang dianggap sastra oleh Het Kantoor voor Inlandsze Zaken (Kantor Urusan Bumiputera) yang bekerjasama dengan Balai Pustaka atau Kantoor voor de Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat) (Razif, 2008).
Menurut Razif (2008:17), antara Balai Pustaka dengan Kantor Urusan Bumiputera terjadi hubungan yang sangat erat. Di dalam Kantor Urusan Bumiputera terdapat ahli-ahli bahasa yang bertugas mengadakan penelitian terhadap bahasa-bahasa di Hindia-Belanda. Sedangkan, Balai Pustaka memberikan pertimbangan kepada negara kolonial tentang pemilihan naskah bacaan bagi perpustakaan sekolah dan masyarakat umum. Pengurusnya terdiri atas enam orang dan diketuai oleh Hazeu, penasehat urusan bumiputera, yang kemudian diambil alih oleh Rinkes pada 8 November 1910. Rinkes sebelumnya telah aktif sebagai pegawai bahasa di Kantor Urusan Bumiputera. Kedua kantor ini secara administratif berada di bawah direktur Departement van Onderwijs (Departemen Pendidikan). Dengan kata lain, yang menyeleksi karya sastra dari sudut bahasanya adalah Kantor Urusan Bumiputera, sedangkan Balai Pustaka bertugas untuk menerbitkan dan menyebarkan karya sastra yang lolos seleksi tersebut. Persamaannya adalah kedua organisasi tersebut merupakan institusi yang berusaha mendominasi dan mensubordinasi proses organisasi sosial dan mengontrol perkembangan kebudayaan masyarakat Hindia Belanda.
Sedangkan, bahasa Melayu lisan adalah cabang bahasa lisan yang berubah dan berkembang berdasarkan perubahan-perubahan historisnya. Bahasa ini digunakan sebagai bahasa pergaulan oleh berbagai macam kelompok asal, seperti masyarakat Belanda, Tionghoa, Jawa, Sunda, dan sebagainya, terutama dalam hubungan perdagangan. Oleh karena itu, terbentuk berbagai bahasa Melayu dalam berbagai dialek. Dialek-dialek dalam berbagai kelompok ini disebut bahasa Melayu-Rendah atau bahasa Melayu Pasar. Selanjutnya, bahasa Melayu-Rendah yang digunakan oleh masyarakat Tionghoa dengan dialek yang khas Tionghoa memunculkan bahasa Melayu-Tionghoa atau juga disebut bahasa Melayu-Betawi.

2. Bahasa dalam Korbannya Kong-Ek
Penggunaan bahasa-bahasa di atas dapat menunjukkan tingkat pendidikan dan pengalaman hidup seseorang. Dengan kata lain, intelektualitas seseorang tercermin dalam bahasa yang digunakannya. Pemakaian bahasa juga memberikan indikasi maksud dan sasaran pembaca yang ingin dituju pengarang (Sumardjo, 2004:255). Penggunaan bahasa Melayu-Tionghoa oleh Hoay dalam Korbannya Kong-Ek lebih ditujukan kepada masyarakat Tionghoa dari lingkungan masyarakat menengah ke bawah. Lebih dari itu, bahasa Melayu-Tionghoa pun dapat dimengerti oleh masyarakat di luar masyarakat Tionghoa dan masyarakat kelas atas. Jadi, tujuan yang ingin dicapai Hoay adalah agar Korbannya Kong-Ek lebih dekat dan dipahami oleh masyarakat sasarannya itu.
Seperti yang disampaikan Gramsci, bahasa merupakan sarana penting untuk melayani fungsi hegemonis. Perlu diketahui, jumlah masyarakat kelas menengah ke bawah jauh lebih dominan daripada kelas masyarakat di atasnya. Masyarakat menengah ke bawah berpotensi besar sebagai kelas pergerakan, bahkan revolusioner. Dengan begitu, Korbannya Kong-Ek diupayakan memberikan aspek formatif kepada masyarakat. Hoay menggunakan kecerdasannya untuk dapat memenuhi fungsi sosial dan mengekspresikan gagasan intelektualnya. Tindakan formatif dari segi penggunaan bahasa yang dilakukan Hoay ini juga merupakan upaya kontra-hegemoni terhadap kekuasaan kolonial.
Tuturan-tuturan yang khas masyarakat Tionghoa banyak ditemui dalam teks, misalnya boanseng dan owe (saya; aku), liatwie losianseng (tuan; kau), cia-lat (sial—makian—), kamsiah (terima kasih), jiatsiem (baik; murah hati), ce-ceng-tun (seribu), dan tabe (tabik; salam hormat) dalam contoh di bawah ini.
Tek Beng : (bertunduk dan bertarik nafas panjang) Boan seng minta tempo buat pikir dulu. Boan seng betul kuatir pada penyakit itu dua anak.
(Hlm. 36)
....
Tek Beng : (berbangkit dari meja vergadering) Owe menyesel ini vergadering ditutup sampe di sini saja, tapi apa boleh buat. Sekarang owe permisi pulang, sebab owe mau lekas liat bagimana kaadaannya owe punya anak-anak.
(Hlm. 41)
....
Tek Beng : .... Tapi cobalah Liatwie Losianseng pake pikiran dan timbangan yang adil dalem ini hal. ....
(Hlm. 30)
....
Yo Tjioe : (meremin matanya mukanya berjengit, tangannya masih pegangin perut) Aduh, Aduh, cia-lat betul! Owe punya perut sakit, rasanya ’nak mau muntah dan kepala pusing.
(Hlm. 37)
....
Yo Tjioe : Kamsiah! Aduh, duh, duh! Tra usah bikin susah, Pek Pie Koh Sia sendiri sudah sampe.
(Hlm. 39)
...
Sun Hong Kie: (tertawa) Ha-ha-ha! Tek Beng seorang jiatsiem, maka gampang dibujuk buat lakuken pakerjaan berat, asal diogok dan didongengin, dia tentu tida tampik.
(Hlm. 42)
....
Toa Te : Kabarnya suda dapet ampir ce-ceng-tun.
(Hlm. 70)
....
Masing-masing membri tabe. Van Eerlijk, De Zuiver, dan Sauerkop berjalan kaluar, dianter oleh semua orang, komudian itu lid-lid bestuur duduk kombali di saputer meja vergadering.
(Hlm. 79)

Contoh kata-kata di atas tidak serta-merta menjadi tuturan yang tetap atau selalu digunakan oleh tokoh dalam dialognya. Akan tetapi, pada dialog lainnya juga menggunakan kata-kata yang lazim, seperti aku, kau, tuan-tuan, persetan, trima kasih, cakep, saribu, dan hormat. Hal ini merupakan salah satu cara mengompromikan bahasa agar lebih akomodatif.
Tek Beng : Aku tida sesalin salah satu orang. Aku cuma unjuk tida betulnya Hong Kie punya alesan, bahua itu dua vergadering jadi gagal, lantaran itu dua malem ada ujan dan angin meniup keras.
(Hlm. 18)
....
Tek Beng : Kapan tuan doktor mau preksa, saya nanti kasih satu surat introductie pada hoofdonderwijzer dari itu sekola, supaya ia suka tulung kasih segala katrangan yang perlu pada tuan.
(Hlm. 54)
....
Yo Tjioe : (lemparken itu cepuk katanah) Persetan!
(Hlm. 37)
....
Yo Tjioe : ..., sebab sekarang pun, baru saja itu hal digerakin, itu dua pembesar sudah unjuk trima kasihnya dengen kunjungi kita punya sekola. (menulis terus)
(Hlm. 70)
....
Soen Hong Kie: Itu betul! Boan seng cocok sekali. Tida ada laen orang yang sampe cakep jadi utusan salaennya dari tuan Sim Tek Beng.
(Hlm. 34)
....
Toa Te : .... Sekarang malah ada yang tau bayar renten sampe ampat puluh persaribunya, tapi owe blon bisa kasih, sebab owe blon sedia.
(Hlm. 43)
....
(Masuk : Ong Sam Kiok, Tjin Toa Te, Beng Soe Sek, Lim Yo Tjioe, dan Pek Pie Koh Sia, masing-masing membri hormat pada yng hadir duluan).
(Hlm. 19)

Di lain pihak, Hoay juga sedikit banyak menguasai bahasa yang lainnya, di luar bahasa Melayu-Tionghoa. Kosakata dari bahasa Belanda juga banyak ditemui di dalam teks, baik pada petunjuk pelakonan, dialog tokoh Tionghoa, terutama dialog tokoh Belanda, seperti voorstel (usul; tawaran), conferentie (konferensi), vergadering (rapat), bestuur (pemerintah), statuten (status), rekest (pengaduan; petisi), commissaris politie (komisaris polisi), advies (nasehat), introductie (pengantar), hoofdonderwijzer (kepala sekolah), rapport (laporan), Groote Weg (jalan raya), Arabieren (orang Arab), Inlanders (orang-orang pribumi), politie (polisi), en (dan), gezonheid dienst (dinas kesehatan), besmet (terinfeksi; tertular), vloer (lantai), plafond (langit-langit), directeur (direktur), dan gemeente werken (kepegawaian kotapraja).
Sam Kiok : Laen dari itu kau misti inget, kita telah majuken banyak voorstel-voorstel penting buat dibicaraken di itu conferentie, yang ampir semua kaluar dari kau punya pikiran. ....
(Hlm. 36)
....
Soe Sek : Kalu diterusken pun ini vergadering jadi tida sah kerna bestuur yang hadlir tida cukup banyaknya seperti ditentuken dalem statuten.
(Hlm. 40)
....
Yo Tjioe : Itu rekest owe yang atur, dan owe percaya ini sakali bakal berhasil, sebab kita punya kaptoa dua-dua, begitu pun Patih dan commissaris politie, ada tunjang kras dan bri advies baek.
(Hlm. 71)
....
Tek Beng : Kapan tuan doktor mau preksa, saya nanti kasih satu surat introductie pada hoofdonderwijzer dari itu sekola, supaya ia suka tulung kasih segala katrangan yang perlu pada tuan.
(Hlm. 54)
....
Sauerkop : Zekkarang saya blom bissa bilang apa-apa. Saya mesti tonghu rapport priksa itu darah di laboratorium. .... Duwa anak itu baba toko bras di jalan Grobak, lima di Groote Weg en duwa di dekat passer yang dagang cita, samuwa dapat typhus.
En saya heiran bagimana coomah di kampung china saja banyak-banyak anak-anak dapat itu sakit, anak owrang Blanda of Arabieren of Inlanders tidak ada yang kena typhus. Zekkarang saya mauw minta politie en gezonheid dienst bowat jaga sopya tidak ada besmet lebih jauw. ....
(Hlm. 53)
....
De Zuiver : .... Kamar sekola punya vloer, plafond, dan tembok-tembok sudah pecah di sana-sini dan amat mesum, dan itu jendel-jendel sekola juga banyak yang pecah atawa rengat. ....
(Hlm. 78)
....
Van Eerlijk : Itu uwang saya minta besok pagi disrahken sama directeur dari gemeente werken, yang saya nanti minta tulung buat atur dengen lekas itu pakerjaan semua, supaya ini sakola bisa lekas dibuka kombali.
(Hlm. 78)

Melalui penggunaan tuturan dari bahasa Belanda, Hoay berusaha mengakomodasi kepentingan kelas (pembaca) dari golongan Belanda. Bahkan, penulisan dialog-dialog yang dituturkan Van Eerlijk, De Zuiver, dan terutama Sauerkop dibuat seperti cara orang Belanda berbicara dengan dikombinasikan dengan bahasa Melayu-Tionghoa. Sebagaimana terdapat pada penggalan teks yang ditunjukkan di atas, seperti zekkarang (sekarang), bissa (bisa), tonghu (tunggu), passer (pasar), coomah (cuma), owrang (orang), bowat (buat), jauw (jauh), dan jendel (jendela). Cara mengakomodasi kepentingan (bahasa) yang lain, di samping kepentingan individu atau kelompoknya, merupakan gejala hegemoni, pertarungan ideologi, dan penegosiasian ideologi pengarang.
Selanjutnya yang perlu ditekankan adalah belum adanya bahasa yang diresmikan sebagai bahasa nasional pada masa penciptaan teks. Sebelum Sumpah Pemuda, bahasa Indonesia belum menjadi bahasa nasional. Bahkan, kata ’indonesia’ untuk mengacu pada wilayah geografis pun belum jamak dikenal masyarakat—masih disebut Hindia Belanda. Menurut Gramsci (dalam Faruk, 2005:74), ketidakmatangan relatif bahasa nasional tersebut dapat menciptakan kelompok intelektual. Bahasa, sebagai materi dalam media massa (sastra), berpotensi sebagai wujud hegemoni dalam suatu perang posisi.

3. Penutup
Konsepsi mengenai dunia dan kebudayaan telah digunakan Hoay untuk membuka intensitas dan ruang lingkup konflik sosial. Bahasa Melayu-Tionghoa yang digunakan Hoay dapat disengaja pemakaiannya. Hal itu dilakukan agar Korbannya Kong-Ek menjadi hidup dan dapat meninggalkan kesan yang mendalam bagi pembaca, sehingga dapat menarik perhatian dan simpati pembaca secara tidak sadar terhadap gagasan dan ideologi yang direpresentasikan. Selain itu, dengan pemakaian bahasa Melayu-Tionghoa, Korbannya Kong-Ek dapat menjangkau khalayak seluas-luasnya. Keberanian Hoay untuk tetap mengarang dalam bahasa Melayu-Tionghoa, mencetak, dan menerbitkannya secara independen di tengah-tengah pandangan hegemonik negara melalui Balai Pustaka merupakan suatu tindakan kontra-hegemoni Hoay dalam suatu perang posisi.
Jadi, Hoay telah berusaha secara sadar memenuhi fungsi sosialnya, memikirkan fungsi organisatoris dalam menyebarkan pandangan-pandangan universalnya, dan memberikan homogenitas dalam hegemoni kultural. Pada tataran tersebut, peran sebagai intelektual organik telah diwujudkan oleh Hoay dalam aktivitas mengarang Korbannya Kong-Ek.



DAFTAR PUSTAKA


Gramsci, Antonio. 2007. The Intellectuals. Diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Q. Hoare & G.N. Smith. New York: International Publishers. (Disajikan dalam bentuk arsip digital)

Hoay, Kwee Tek. 2002. “Korbannya Kong-Ek: Toonelstuk dalem Ampat Bagian”. Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 6. Marcus A.S. dan Pax Benedianto. (Ed.). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Tiara Wacana Yogya.

Milner, Andrew. 2003. ”Raymond Williams”. Teori-teori Sosial: Observasi Kritis terhadap Para Filosof Terkemuka. Peter Beilharz (Ed.). Diterjemahkan oleh Sigit Jatmiko. Cetakan ke-2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Razif. 2008. ”Bacaan Liar: Budaya dan Politik pada Zaman Pergerakan”. http://72.14.235. 104/search?q=cache:jQZglHk-R1AJ. Diakses pada 6 November 2008 pkl.19.05.

Simon, Roger. 2004. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Diterjemahkan oleh Kamdani dan Imam Baehaqi. Cetakan ke-4. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sumardjo, Jakob. 2004. Kesusasteraan Melayu-Rendah Masa Awal. Yogyakarta: Galang Press.


[1] Tulisan ini adalah salah satu bagian dari bab Formasi Ideologi dalam skripsi ”Hegemoni sebagai Struktur Ideologi dan Budaya dalam Teks Drama Korbannya Kong-Ek Karya Kwee Tek Hoay”.

DRAMA YUNANI SEBAGAI AKAR DRAMA MODERN




1. Awal Mula Drama di Yunani
Awal mula munculnya drama adalah pemujaan kepada dewa Dionisius (dewa anggur dan kesuburan) pada sebuah festival di Yunani. Menurut buku A History of the Theatre, pemujaan tersebut berasal dari Mesir kuno. Teks piramid yang bertanggal 4000 SM adalah naskah Abydos Passion Play. Bukti berupa adanya aksi (action) dan tokoh di dalam naskah tersebut menunjukkan bahwa itu adalah teks drama. Di samping itu para pakar membuktikan adanya beberapa baris yang di dalamnya para tokoh mengidentifikasikan diri mereka sebagai “Saya Horus”, “Saya Nut” (Reeves, 1955: 18 dan 28, dalam Soemanto, 2001: 12)
Seperti halnya di Indonesia, bentuk awal drama dan teater Barat juga berasal dari ritual keagamaan. Meskipun sifat kegiatan ritual keagamaan di Barat tidak sepuitis di Timur, bentuknya lebih kepada pemaparan (penceritaan). Dalam tulisan ini dicontohkan awal mula drama di Yunani kuno. Di wilayah tersebut, sekelompok manusia, dengan cara mengarak seekor kambing yang sudah dihias, digiring keliling pasar dan tempat keramaian lainnya dengan berbagai iringan dan bunyi-bunyian. Rombongan tersebut menceritakan tentang salah satu dewa mereka kepada para penonton yang menyaksikan di sepanjang jalan. Bila perhatian penonton tinggi, arak-arakan akan memperlambat atau menghentikan arakannya dan memberikan kesempatan pada narator untuk mengisahkan kejadian. Baru kemudian upacara-upacara ritual keagamaan dilakukan di tempat-tempat khusus.
Orang Yunani Kuno yang hidup kurang lebih tahun 500 SM, memuja dewa-dewi mereka dengan menirukan tingkah laku dewa-dewi mereka di depan candi mereka. Peniruan yang dilakukan terhadap tingkah laku para dewa atau satu dewa itulah yang menjadi titik tolak kehidupan teater (Barat). Singkatnya, teater di Yunani berkembang pesat ketika orang Yunani Kuno mulai membuka sayembara penulisan naskah-naskah untuk festival perayaan dalam rangka menghormati Dewa Dionisius.
Pada zaman keemasannya, teater di Yunani megalami perkembangan dari teater upacara ke teater estetik, dari teater yang bersifat sakral ke arah teater yang merupakan ekspresi seniman sebagai individu. Kalau pada awal kelahiran teater (Barat) Thespis, aktor pertama yang memasukkan seni peran ke dalam upacara agama, masih tidak melepaskan sifat upacara yang bersifat sakral tokoh-tokohnya, secara perlahan tokoh-tokoh tersebut semakin menjauh dari sifat sakral itu. Di dalam Oidipus Sang Raja, misalnya, Sopochles tidak lagi mengagungkan dewa-dewa, akan tetapi malah meragukan keadilan mereka. Euripides yang jauh lebih muda, malah menyerang dewa-dewa melalui dramanya. Aristhophanes mengolah masalah-masalah duniawi (profane), seperti kekonyolan tokoh-tokoh masyarakat ketika itu, misalnya filsuf Sokrates, dalam ceritanya yang berjudul Awan, atau kekonyolan perang dan politik di dalam cerita Lysistrata.

3. Jenis Pertunjukan
Di dalam perkembangannya, terdapat dua jenis pertunjukan drama atau teater yang saat itu muncul di Yunani, yaitu:
3.1. Tragedi
Tragedi bersifat ritual keagamaan, sehingga pertunjukannya berlangsung serius, khidmat, puitis, dan filosofis. Tokoh-tokoh di dalam drama jenis ini selalu menghadapi dilema moral yang sulit meskipun mereka mempunyai kelebihan tertentu dibanding manusia biasa lainnya. Tragedi di Yunani Kuno terdiri dari beberapa episode dan diiringi nyanyian koor yang biasanya berupa kode.
Beberapa tokoh drama tragedi Yunani adalah:
3.1.1. Aeskillos (525-456 SM), karya-karyanya yang terkenal adalah Trilogi Oresteia yang terdiri dari Agamemon, Pembawa Korban, dan Para Pemberang. Karya lainnya Orang-orang Persia, Prometheus Dibelenggu, dan Para Pemohon.
3.1.2. Sophocles (496-406 SM), karya-karyanya yang terkenal adalah Trilogi Oidipus yang terdiri dari Oidipus di Colonus, Oidipus Sang Raja, dan Antigone. Karyanya yang lain adlah Ajax, Wanita-wanita Trachia, dan Electra.
3.1.3. Euripides (484-406 SM), karya-karyanya antara lain Hercules, Putra-putra Hercules, Medea, Wanita-wanita Troya, serta karya sastranya yang berjudul Cyclop.
3.2. Komedi
Komedi berasal dari kata Komoida, yang berarti membuat gembira, sehingga drama komedi dimaksudkan sebagai drama yang membawa kabar gembira, misalnya kemenangan perang, kepahlawanan, dan lain-lain. Jenis ini dibagi menjadi dua berdasarkan tema cerita yang dipentaskan. Komedi yang bertema sosial, politik, dan kenegaraan adalah komedi lama, sedangkan komedi yang bertema kehidupan rumah tangga dan keseharian adalah komedi baru.
Tokoh-tokoh daram komedi Yunani Kuno yaitu:
3.2.1. Aristhophanes (445-385 SM), karya-karyanya antara lain Para Perwira, Lysistrata, dan Burung-burung. Ia merupakan tokoh komedi lama.
3.2.2. Menander (349-291 SM), karyanya yang dikenal hanya satu, yaitu Rasa Dongkol. Ia merupakan tokoh komedi baru.

4. Fenomena Cerita Drama-drama Yunani Kuno
Selain merupakan realitas, kehidupan manusia juga merupakan realitas yang secara langsung dapat didekati, lantaran kehidupan manusia merupakan kehidupan yang layak, usaha terbaik untuk itu adalah berusaha memahaminya. Pada kebudayaan Yunani Kuno, nilai-nilai kemanusiaan lebih penting daripada di berbagai kebudayaan kuno lainnya di dunia, bahkan di kebudayaan Yunani, kesatuan hidup dapat dipahami dalam istilah-istilah agamis.
Hal di atas tercermin pada salah satu cerita drama tragedi berjudul Antigone karya Sophocles. Antigone adalah sebuah lakon yang mengedepankan tafsir modern salah seorang dramawan Prancis yang paling populer sejak perang dunia kedua, Jean Anouilh (1910-1987), terhadap makna eksistensial yang terkandung dalam tragedi Antigone. Naskah ini termaktub dalam trilogi Yunani klasik karya Sophocles; Oedipus Sang Raja, Oediphus di Kolonus dan Antigone. Jean menulis naskah ini pada tahun 1944 yang semula dimaksudkan sebagai ungkapan resistensi dan sikap menolak tunduk pada kesewenang-wenangan NAZI, tokoh Antigone merupakan wakil dari sebuah kekuatan semangat yang menentang dan menyerukan perlawanan terhadap tirani raja Creon.
Naskah Antigone merupakan salah satu dari puluhan naskah Yunani yang masih ada, di mana naskah-naskah itu ditulis tiga orang penulis, masing-masing Aeskhillos, Sophocles, dan Euripides. Khusus Sophocles, setiap naskahnya selalu melukiskan manusia seperti seharusnya, bukan apa adanya. Dalam drama-drama Sophocles tidak mempersoalkan kejahatan dan hukumnya yang abstrak. Namun ia lebih mengutamakan perjuangan tokoh kuat dalam melawan nasibnya. Pola drama Sophocles selalu memunculkan tokoh pribadi kuat. Jalan yang ditempuh tokohnya selalu berat dan sulit serta menderita, tapi sikap ini justru membuat sang tokoh makin mulia dan berperikemanusiaan.
Sepanjang hidup, Sophocles menulis ratusan naskah namun hanya tujuh naskah saja yang tersisa, yakni Wanita-Wanita Trachia, Ajak, Antigone, Oeidiphus Sang Raja, Oeidiphus di Kolonus, Electra, dan Philocteles.
Tokoh Antigone merupakan tokoh wanita heroik yang berani berkata tidak pada saat banyak orang berkata ya, mati merupakan sebuah pilihan yang terbaik, karena di mata Antigone, perempuan kecil, kurus, dan kurang cantik ini kematian merupakan tiket mahal untuk pengganti senjata melawan tirani. Antigone rela dirinya dihukum gantung demi keselamatan rakyatnya.
Penggambaran tokoh yang demikian, meski ditulis Sophocles ratusan tahun lalu, masih relevan untuk sindiran kehidupan nyata hari ini, di mana saja, di negeri mana pun. Sebab pemikiran teater sebagai sebuah pemanggungan peristiwa, juga merupakan kesadaran kolektif sosial manusia, sebuah pertunjukan teater –mungkin– bisa jadi sebuah kegiatan yang menyentuh kesadaran manusia.
Antigone boleh jadi merupakan ironi bagi kenyataan hidup masa kini. Sebuah kekuasaan yang mengatasnamakan demokrasi, atas nama stabilitas nasional, atas nama kepentingan rakyat, yang ternyata hanya bertujuan untuk menumpuk harta kekayaan serta kepentingan kelompok, akhirnya akan luluh juga, meskipun membutuhkan waktu yang panjang. Semangat juang Antigone dan normalnya diri sebagai wanita yang jatuh cinta terhadap lawan jenis. Sayang ternyata pria idamannya, Hermon, berselingkuh dengan Ismene, saudara sepupunya. Kenyataan ini tak membuat ia putus asa berjuang mempertahankan kekuatan cinta terhadap perdamaian.
Dalam Antigone, semua terjawab bahwa cinta mampu mengalahkan pemerintahan yang korup, kekuatan cinta tak mampu dibendung dengan senjata atau hukuman mati sekalipun, lalu apakah Antigone pun mampu mengubah segalanya.

5. Penutup
Tulisan di atas dapat diambil beberapa hal penting menyangkut sejarah drama dan teater (Barat) yang awal mula perkembangannya berada di Yunani tahun 500 SM, yaitu (1) fenomena munculnya kesenian pertunjukan berawal dari ritual-ritual keagamaan yang sakral, yang kemudian bergeser menjadi sarana ekspresi individu sehingga mengurangi kesakralan ritus sebelumnya. Hal ini diakibatkan karena kesenian pertunjukan (drama) mencoba memposisikan diri sebagai aktualisasi di dalam suatu kelompok masyarakat agar masih mempunyai masyarakat pendukung. (2) Aktualisasi di dalam drama memberikan kedudukan drama sebagai kebutuhan, karena pemahaman sebuah cerita di dalam drama harus mendalam dan memenuhi syarat estetik. Drama sebagai suatu kegiatan dan lembaga dapat memberikan nilai-nilai. Nilai-nilai itu yang bersatu (koheren) dalam teater itu sendiri, yaitu nilai-nilai budaya, moral, dan keindahan.



SUMBER PUSTAKA

Asmara, Adhy. 1983. Cara Menganalisa Drama. Yogyakarta: Nur Cahaya
Harymawan. 1994. Dramaturgi. Yogyakarta: ASDRAFI
Saini. 2002. Kaleidoskop Teater Indonesia. Bandung: STSI Press
Soemanti, Bakdi. 2001. Jagat Teater. Yogyakarta: Media Pressindo
Sumardjo, Jakob. 2004. Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia. Bandung: STSI Press
Hasanuddin. 1996. Drama: Karya Dalam Dua Dimensi (Kajian Teori, Sejarah, dan Analisis). Bandung: Angkasa.

SUMBER DARI INTERNET

http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya

KARAKTERISTIK SENI PERTUNJUKAN



Di antara syarat yang menandai seni pertunjukan dimungkinkan dari situasi yang melingkupinya: unsur-unsur dalam latar, misalnya perkembangan tata panggung, prosenium atau altar; hiasan atau dekorasi khusus, misalnya tata busana atau tata rias; latar belakang, misalnya festival musiman atau hari libur. Semua pertunjukan, seperti halnya komunikasi, tergantung pada situasi, ketetapan, dan makna yang dikandung dalam konteks situasi sosial. Studi perbandingan dari pertunjukan, bagaimanapun juga, memiliki tujuan tertentu untuk menekankan peristiwa tesebut adalah kriteria yang ditunjukkan, yang disebut oleh antropolog Amerika, Milton Singer, “pertunjukan budaya”. Pertunjukan budaya bertujuan untuk menjadi suatu pertunjukan yang paling utama dalam sebuah kelompok masyarakat dan untuk berbagi corak karakteristik.
Pada mulanya, peristiwa tersebut bertujuan untuk menyusun jadwal dan menyiapkan segala kebutuhan. Termasuk juga, batasan sementara dalam permulaan dan akhir; batasan yang ditetapkan dalam suatu tempat yang ditandai, sementara atau tetap, seperti gedung teater, tempat festival, atau tempat suci. Dengan batasan waktu dan tempat, pertunjukan budaya telah disusun dengan ketentuan struktur atau susunan kegiatan, seperti pada lima unsur akting dalam drama Elizabethan atau struktur liturgis upacara kematian Iroquois. Ada empat jenis pendukung, sebagai bagian dari makna pertunjukan budaya, yaitu masyarakat pendukung, terbuka untuk penonton umum dan partisipasi bersama; hal itu menyebabkan orang untuk datang bersama. Lebih dari itu, termasuk juga bentuk yang telah disusun dan bentuk estetik yang dicapai dalam suatu pertunjukan dan pelaku yang dipilih dalam kelompoknya, misalnya peristiwa pertunjukan yang dihadirkan, yang disediakan untuk memberi pengalaman melalui kepuasan yang ditunjukkan dalam penampilannya.
Dimungkinkan dalam alasan utama dari pertunjukan budaya adalah untuk pembelajaran pada masyarakat yang mengalami refleksi dari ungkapan budaya. Seorang sarjana Amerika, Barbara Babcock, menyebutkan bahwa istilah refleksi merujuk pada dua kandungan arti terkait dengan pertunjukan, keduanya didasarkan pada kapasitas dari pengertian sistem manapun untuk membuat suatu objek masuk ke dalam dirinya sendiri dan untuk menunjuk dirinya sendiri, dengan begitu akan memperluas pandangan terhadap pengorganisasian dan membuat pola utama dalam sistem yang telah jadi.
Pada awalnya, pertunjukan adalah refleksi secara formal—mengartikan arti—selama disebut sebagai inti dan melibatkan kesadaran diri yang dimanipulasi dari unsur formal dari sistem komunikasi (gerakan tubuh pada tarian, bahasa dan nada dalam lagu, dan sebagainya), yang dilakukan paling sedikit satu kesadaran terhadap peralatan. Dalam cakupannya, pertunjukan dapat dilihat sebagai metabudaya dengan luas, arti sebuah pertunjukan yang menjadi objek dan diungkapkan dalam suatu penelitian ke dalam dirinya sendiri, sebagai kebudayaan adalah sistem dari pengertian sistem. Selanjutnya, Singer, dalam usahanya untuk memahami kultur India yang kompleks, memusatkan perhatiannya pada contoh bentuk kebudayaan seperti permainan-permainan, pergelaran-pergelaran, ceramah-ceramah, bacaan-bacaan dalam ritual dan hafalan-hafalan, upacara-upacara, peringatan-peringatan, dan festival, karena itu dia mengatakan, “persahabatan orang India berpikir tentang budaya mereka yang terpisah ini, yang bisa mereka perlihatkan kepada pengunjung dan kepada diri mereka sendiri.”
Refleksi adalah suatu bentuk yang lebih kuat dibanding arti yang dikandung dalam pencerminan, yang ditunjukkan oleh pertunjukan dan bentuk kesenian lain sebagai pencerminan, bayangan dari kaca (meskipun demikian mungkin ada yang berbeda, misalnya di dalam rumah bermain) tentang beberapa kenyataan budaya primer seperti nilai-nilai, pola tindakan, struktur hubungan sosial, dan yang disebut—sebuah pandangan “seni untuk hidup”. Pembelajaran pertunjukan yang terbaru di dalam antropologi, seperti yang dikerjakan oleh Roger Abrahams, Clifford Geertz, Richard Schechner, dan Victor Turner, yang memperlihatkan bahwa pertunjukan budaya mungkin menjadi gaya primer dari wilayah yang menjadi hak mereka sendiri, yang dimuat di dalam laku performatif daripada yang diperlihatkan secara eksplisit, nilai-nilai atau kepercayaan yang diucapkan, pemahaman orang tentang kenyataan sekarang dan tindakan yang diimplikasi dari kenyataan itu. Analisis Geertz tentang wilayah ritual yang dia sebut “tempat pertunjukan Bali di abad ke-19” yang lebih menekankan tentang hal di atas.
Sebagai tambahan untuk bentuk refleksi, pertunjukan adalah refleksi terhadap kepekaan psiko-sosial. Sejauh dilihat sebagai gaya pada pertunjukan yang didasari dari pribadi yang mempertunjukkan (aktor di atas panggung, pembawa cerita di depan perapian, festival penari di alun-alun desa) sebagai objek untuk dirinya sendiri sebagaimana kepada pihak lain, terutama pertunjukan yang lebih menekankan dan memanfaatkan segi pemeranan dan pandangan yang melihat sejarah dari dirinya, di dalam proses filosof sosial dan psikolog sosial George Herbert Mead dan orang lain yang seperti dia telah mengenal sesuatu yang membanngun dirinya. Tentu saja, Mead mengutip dari keberhasilan drama dalam memperlihatkan situasi yang dirasakan dan dialami oleh orang lain. Dimensi kesadaran atas kesadaran seperti itu bukanlah, tentu saja, terbatas pada pertunjukan budaya tapi mungkin juga di dalam lingkungan sosial manapun; rasa yang “ada” atau yang dibuat “untuk direkam” selama tindakan sosial berkesinambungan dengan pertunjukan di dalam pengertian umum yang berkembang. Bagaimanapun juga, apabila kualitas pertunjukan memberikan interaksi yang menarik dapat memberikan arti metaforik yang lebih kecil daripada yang diberikan variasi pertunjukan teater yang patut dilestarikan “hidup seperti dalam teater”, analogi yang dikembangkan dengan baik di dalam bentuk konvensi teater atau drama yang menekankan pada sisi metafor.

*) Tulisan ini merupakan terjemahan atas salah satu bagian dari Folklore, Cultural Performance, and Popular Entertainment. Richard Bauman. (Ed.). New York: Oxford University Press. 45-48

WAYANG, DEWA RUCI, DAN KELIR VIDEO

1. Pengantar
Menurut Koentjaraningrat (1984, dalam Kasidi, 2006:3), pada dasarnya dinamika kehidupan manusia merupakan fenomena awal adanya perubahan budaya manusia. Kebudayaan memiliki kecenderungan untuk berubah. Kebudayaan itu sebenarnya mempunyai ciri, salah satunya yaitu sebagai endapan berbagai perilaku manusia dalam menghadapi dinamika kehidupan sosialnya sehari-hari. Dari peristiwa itu menghasilkan kegiatan berpikir yang berguna bagi kemajuan ilmu pengetahuan, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan materi, sistem dalam kegiatan kemasyarakatan, dan pembentukan karakter masyarakat.
Budaya masyarakat tradisional Jawa, pada dasarnya merupakan suatu bentuk budaya yang memiliki unsur-unsur terkait antara yang satu dengan yang lainnya, dalam budaya Jawa disebut dengan manunggaling Kawula Gusti (kesatuan makhluk dengan Tuhan). Seni, dalam hal ini seni pertunjukan, selama ini mempunyai banyak fungsi. Fungsi-fungsi ini oleh Soedarsono (2002:123) dikelompokkan berdasarkan kepentingan audience atau penontonnya ke dalam tiga fungsi primer, yaitu 1) sebagai sarana ritual, 2) sebagai hiburan pribadi, dan 3) sebagai presentasi estetis. Ketiga wilayah yang dipilahkan demikian ini tidak tersekat mutlak, tetapi seringkali bertumpang tindih. Misalnya, seni pertunjukan yang disajikan untuk kepentingan ritual juga menampilkan nilai-nilai estetis atau seni pertunjukan yang ditampilkan untuk hiburan pribadi juga tidak lepas dari keindahan yang membalutnya wujudnya.
Kenyataan bahwa seni pertunjukan tradisional sudah ada dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia tidak bisa dipungkiri. Seni pertunjukan di masa lalu telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat yang masih berpegang pada aturan adat dan tradisi, baik dalam tata hubungan horisontal (dengan sesamanya) mau pun vertikal (dengan hal supernatural). Kegiatan kesenian semacam ini masih kuat dinapasi oleh unsur ritual, sehingga dengan keadaan seperti itu seni pertunjukan menjadi hidup dan dibutuhkan.
Bonislaw Manilowski mengatakan bahwa asal-usul kebudayaan adalah dari organisasi ekonomi yang mempunyai tugas untuk memenuhi kebutuhan organisasinya tersebut. Dikatakannya juga bahwa terbentuknya kebudayaan, termasuk kebudayaan baru, adalah karena manusia dihadapkan dengan persoalan yang meminta pemecahan dan penyelesaian untuknya. Seni tradisional tumbuh dan berkembang serta dibutuhkan oleh dan untuk masyarakat pendukungnya, maka dalam gerak hidupnya, ia berjalan bersama pertumbuhan masyarakatnya. Jadi, tradisi yang tidak mampu berkembang adalah tradisi yang menyalahi fitrah hidupnya.
Pada masa mutakhir ini, banyak kita temui kelompok seni tradisi yang megap-megap dalam hidupnya yang beriringan dengan era modern dan global ini. Keadaan ini lebih terlihat ketika kesadaran masyarakatnya untuk mendapatkan pendidikan meningkat—masyarakat terdidik cenderung untuk mencari bentuk-bentuk yang berbeda dan baru dengan bentuk sebelumnya—. Perubahan fungsi dan bentuk seni pertunjukan tradisi terjadi, dan ini adalah fenomena perubahan kebudayaan. Makin gencarnya program-program modernisasi di berbagai bidang ‘memaksa’ seni pertunjukan tradisi untuk mengintegrasikan diri ke dalamnya. Seperti telah menjadi hukum alam.
Begitu pula yang terjadi dalam kesenian wayang. Sebagai bentuk kesenian tradisi yang terbilang mempunyai masyarakat pendukung yang banyak dan dari berbagai lapisan sosial, wayang juga mempunyai ‘konsekuensi’ untuk selalu menyesuaikan diri dengan keinginan dan selera masyarakat. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, masyarakat pendukung seni wayang kebanyakan cenderung untuk mencari bentuk-bentuk yang berbeda dan baru dengan bentuk sebelumnya.

2. Fenomena Mutakhir dalam Wayang
Di Indonesia, khususnya Jawa, wayang merupakan tradisi dan budaya yang telah mendasari dan berperan besar dalam membentuk karakter dan eksistensi bangsa Indonesia. Hal itu menunjukkan betapa lekatnya cerita pewayangan pada masyarakat Jawa sehingga begitu berpengaruh pada kepribadian masyarakatnya. Wayang mengetengahkan norma-norma dan nilai-nilai yang dapat menjaga kesinambungan pembangunan moral bangsa. Kejernihan mencerna wayang diharapkan mampu membangunkan kearifan yang banyak tertumpang oleh kepentingan individu atau kelompok.
Wayang yang mengingatkan nilai-nilai moral melalui tema yang membingkainya tidak sedikit disisipkan cerita, baik berupa mitos, legenda, atau babad. Kearifan yang selayaknya diteladani atau sebaliknya tabu yang harus dihindari oleh masyarakat berulangkali ditampilkan melalui wayang, terutama yang berpola dan berakar tradisi. Wayang menjadi kepanjangan norma serta nilai yang diharapkan oleh masyarakat. Ia juga mampu menjaga kebersamaan dalam bermasyarakat apabila ditempatkan sebagai savety valve atau katup pengaman ketegangan dan peredam dorongan-dorongan agresif ketika seseorang berada dalam konflik.
Kebutuhan manusia untuk mendapatkan fungsi estetis dari kesenian dan pentingnya keberadaan wayang sebagai media penyampai nilai moral memerlukan manunggaling, kebersatuan antara keduanya. Masing-masing harus melakukan tindakan yang mampu menjaga hubungan antarkeduanya tetap terjaga. Orang masih mau menonton wayang, wayang selalu berusaha menyajikan yang terbaik.
Seringkali, masyarakat harus menyediakan waktu yang cukup lama (satu malam suntuk) untuk menikmati cerita wayang yang digelar secara utuh. Masyarakat terdidik mutakhir ini merasa berat (tidak cukup punya banyak waktu) untuk menikmatinya secara utuh. Sebaliknya, cerita-cerita wayang yang digelar apabila tidak diperhatikan secara utuh, maka penyampaian nilai-nilai moralnya pun tidak utuh. Untuk itulah, dalang Ki Manteb Soedharsono mempunyai cara yang jitu untuk permasalahan di atas.

3. Dewa Ruci dalam Kemasan Video
Ki Manteb memadatkan cerita yang dia bawakan tidak sampai harus meluangkan waktu semalaman untuk menontonnya. Contoh nyatanya ada pada pergelaran lakon Dewa Ruci. Lakon wayang Dewa Ruci dalam pakeliran padat (hanya satu jam) dikemas dalam bentuk video compact disc (VCD). Ki Manteb sebagai seorang dalang telah mampu menyampaikan pesan moral yang tersirat pada lakon tanpa harus menjalankan wayangnya semalam suntuk. Di samping itu, penonton pun masih mampu mencerna cerita yang disajikan secara utuh, dari awal cerita hingga akhir. Terlebih, dalam versi video ini terlihat sangat dinamis, penuh gerak, dan kesan dramatisnya kuat dari adegan ke adegan lain.
Bratasena (nama kecil Werkudara atau Bima), satu dari lima Satria Pandawa, hendak mencari hal-ikhwal mendiang orangtuanya, Prabu Pandu Dewanata dan Dewi Madrim (ibu angkat), yang oleh dewa dimasukkan ke kawah yang mematikan, yakni Kawah Candradimuka. Atas nasihat gurunya, Rsi Durna, Bratasena diminta mencari Kayu Gung Susuhing Angin (kayu yang dibuat sebagai sarang angin) di puncak Candradimuka. Pemberian nasihat Rsi Durna kepada Baratsena ini didengar oleh Sengkuni. Sesegera itu pula Bratasena melakukan apa yang dinasihatkan Rsi Durna dengan penuh tekad. Sengkuni pun curiga dengan peristiwa ini. Untuk itulah, Sengkuni memerintahkan Dursusana untuk membuntuti Bratasena. Pada layar pertunjukan versi video ini, bayangan gunung-gunung diterjang langkah Bratasena. Dua raksasa penunggu hutan menghalangi langkahnya juga dihadapinya dengan segala kekuatan. Sebenarnya, Raksasa itu adalah dua dewa yang menjelma. Karena keteguhan hati dan tekad Bratasena, mereka memberinya Sesotya Mustika.
Adegan kemudian berlanjut pada goro-goro. Kehadiran Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong memberikan nuansa humor yang sarat makna. Kemudian berlanjut lagi dengan kembalinya Bratasena menemui Rsi Durna untuk mempertanyakan Sesotya Mustika dan mendapatkan tambahan petunjuk. Sesotya Mustika adalah petunjuk pencarian Bratasena. Atas dasar itu, Rsi Durna memerintahkan Bratasena lagi untuk mencari Tirta Pawitra (air suci) di Minangkalbu. Sebelum berangkat, Bratasena memohon restu dari ibu kandungnya, Dewi Kunthi. Kunthi khawatir dengan tekad Bratasena ini. Untuk itulah, Kunthi mengutus Puntadewa, Permadi, Nakula, dan Sadewa untuk menguji tekad Bratasena.
Pada citra yang lain lagi, tatkala pasukan Hastina (Puntadewa, Permadi, Nakula, dan Sadewa) bergerak hendak menguji langkah Bratasena, musik gamelan ditingkahi suara drum dan terompet. Cahaya dimainkan dari balik layar, membangkitkan semacam puisi bayang-bayang yang di dalam konteks wayang yang kontemplatif ini lalu ada suasana mistik, suasana tranquil.
Nantinya Bratasena akan menyelam ke dasar samudera, dia diserang oleh seekor ular besar yang hampir membunuhnya, tetapi dengan kekuatan Kuku Pancanaka-nya, dia dapat membunuh ular tersebut. Setelah mengalahkan naga penunggu samudera, Bratasena makin dalam memasuki lautan. Saat itu pula ia menjadi tidak sadarkan diri. Ketika Bratasena membuka matanya, ia melihat makhluk seperti dirinya. Dia berjumpa dengan Dewa Ruci—tokoh yang menyerupai dirinya, namun hanya sebesar jari kelingking—. Pada saat itulah, gelombang samudera yang tadinya bergejolak setinggi gunung mengiringi pertarungannya dengan naga, seketika menjadi tenang, sunyi, dan hening.
Dewa Ruci meminta Bratasena untuk masuk ke dalam badannya, melalui telinga kirinya. Walaupun dewa ini sangat kecil, tetapi Bima dapat masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci dan menemukan dirinya berada pada suatu dunia yang sangat mengagumkan, damai, dan indah. Bratasena merasa sangat nyaman dan karena itu Bima ingin tetap tinggal disana. Dewa Ruci kemudian menjelaskan makna dari apa yang dilihatnya dan makna dari kehidupan. Dewa Ruci menjelaskan mengenai arti Tirta Pawitra yang dicari Bratasena. Tirta pawitra tidak di mana-mana, melainkan berada pada diri Bratasena sendiri. Kejelekan dapat dikalahkan kebajikan dengan niat dan usaha yang kuat. Menjawab keinginan Bratasena untuk tinggal di sana, Dewa Ruci mengatakan ia boleh tinggal di sana setelah kematiannya. Akan tetapi, untuk saat ini ia harus kembali ke bumi bersama dengan saudara-saudaranya untuk melaksanakan kewajiban sebagai ksatria. Bima mengikuti Dewa Ruci dan kembali ke dunia nyata untuk melanjutkan perlawanannya memerangi kejahatan, membela saudara-saudaranya melawan Kurawa.
Isi pesan yang tersirat dalam lakon pendek dan padat yang dikemas dalam video ini mampu tersampaikan kepada penonton. Penonton tidak perlu meluangkan banyak waktu untuk mengetahui cerita dan isi pesan yang ingin disampaikan cerita. Hal itu memudahkan masyarakat untuk tetap terus melakukan mobilisasi kehidupannya yang padat pula di zaman modern ini.

3. Kesimpulan
Seperti yang diketahui, lakon Dewa Ruci ini adalah hasil karya Sunan Kalijaga, salah satu Walisongo Jawa. Sunan Kalijaga ingin mengajarkan konsep Sangkan Paraning Dumadi (asal dan tujuan kehidupan manusia). Wayang menjadi media ensiklopedia hidup yang mengajarkan perilaku kehidupan manusia yang mengandung falsafah dan ajaran kerohanian (etika, estetika, kesetiaan, pengabdian, dan cinta). Keberadaan manusia di dunia ini dalam keniscayaan yang dikandung dalam konsep Jawa.
Tidak seperti filsafat Barat yang dimulai dengan mempertanyakan tentang “ada”, filsafat Jawa tidak demikian. Bagi orang Jawa “ada” merupakan suatu keniscayaan yang tak perlu diragukan lagi kebenarannya. Yang dipertanyakan justru dari mana asal “ada” dan ke mana tujuan “menjadi”-nya. Hal itu disebabkan semua yang tampak ada ini ternyata “menjadi”, artinya selalu dalam perubahan, hingga seolah selalu “mengalir”, yang dalam bahasa Jawa disebut owah gingsir. Sesuai dengan prinsip rwa bhinneda, kalau ada yang selalu berubah, tentu ada yang tidak berubah atau abadi. Karena yang ada ini selalu dalam perubahan, tentu bukan yang sejati dan hanya sesuatu yang bersifat semu belaka. Yang sejati tentu tidak berubah dan selalu abadi. Semua yang ada ini hanyalah semu, tidak sempurna, dan bersifat sementara, sedangkan yang sejati, bersifat sempurna dan abadi. Hal di atas dapat diambil dari kandungan cerita Dewa Ruci.
Secara lahiriah, kesenian wayang merupakan hiburan yang mengasyikkan baik ditinjau dari segi wujud maupun seni pakelirannya. Akan tetapi, di balik sesuatu yang tersurat itu terkandung nilai adiluhung sebagai petunjuk rohani yang disampaikan secara tersirat.
Peranan seni dalam pewayangan merupakan unsur dominan. Akan tetapi, bila dikaji secara mendalam dapat ditelusuri nilai-nilai edukatif yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Unsur-unsur pendidikan tampil dalam bentuk pasemon atau perlambang. Oleh karena itu, seseorang dapat melihat nilai- nilai tersebut tergantung dari kemampuan menghayati dan mencerna bentuk-bentuk simbol atau lambang dalam pewayangan. Berdasarkan sejarahnya, kesenian wayang jelas lahir di bumi Indonesia. Sifat local genius (kecerdasan lokal) yang dimiliki bangsa Indonesia, secara sempurna terjadi pembauran kebudayaan asing, sehingga tidak terasa sifat asingnya.
Jadi, perjalanan sejarah mencatat bahwa seni pertunjukan (termasuk juga wayang) tidak diragukan memiliki arti penting bagi kehidupan bermasyarakat. Seni pertunjukan, dengan aspek-aspek pembentuk sosoknya, sesungguhnya telah berusaha menempatkan diri sebagai pilar-pilar yang dapat digunakan sebagai penyangga kehidupan berbangsa yang saat ini sedang dalam pembangunan. Masyarakat Indonesia yang sedang dalam pembangunan, khususnya pembangunan moral memerlukan dukungan untuk kebersamaan. Kebersamaan yang dilandasi oleh toleransi bermasyarakat ditawarkan oleh seni pertunjukan kepada kita yang sedang membangun kembali jatidiri, kebanggaan, dan martabat bangsa seperti sekarang ini. Akan tetapi, semuanya kembali kepada persepsi kita sendiri. Mampukah kita menepis batas egoisme, pemaksaan kehendak, atau keserakahan yang merupakan kendala untuk melangkah ke depan.



DAFTAR PUSTAKA

Hadiprayitno, Kasidi. 2006. Pertunjukan Wayang dalam Perubahan Zaman. Makalah diskusi, tidak diterbitkan.

Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Kusmayati, A.M. Hermin. 2006. Fungsi Seni Pertunjukan bagi Pembangunan Moral Bangsa. Makalah diskusi, tidak diterbitkan.

Nurgiyantoro, Burhan. 2003. “Wayang dalam Fiksi Indonesia” dalam Jurnal Humaniora volume XV no.01. Yogyakarta: Humaniora.

Purwadi. 2004. Dakwah Sunan Kalijaga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Soedarsono, R.M.. 2002 Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.



SUMBER INTERNET

Anonim. tanpa tahun. Cerita Dewa Ruci dalam http://kalkusholic.multiply.com/
post/tulisan. Diakses pada Minggu, 27 Mei 2007 pkl. 11.00

Suripto, Adi. tanpa tahun. Filsafat Wayang dalam http://mandow.multiply.com/ market/item/11Originally posted by jaka_bodoh. Diakses pada Minggu, 27 Mei 2007 pkl. 11.00

Sutini. tanpa tahun. Wayang dalam http://www.jawapalace.org. Diakses pada Minggu, 10 Juni 2007 pkl. 14.00



SUMBER MULTIMEDIA

Video Pertunjukan Wayang Kulit oleh Ki Manteb Soedharsono dengan lakon Dewa Ruci. Dilihat dalam perkuliahan Sejarah Seni Pertunjukan pada Senin, 22 Mei 2007

PERAN MASYARAKAT TIONGHOA PADA AWAL MULA MUNCULNYA TEKS DRAMA MODERN DI INDONESIA

1. Pendahuluan
Teks drama, sebagai salah satu genre sastra, tidak terlepas dari kenyataan dan konflik sosial-politik pada saat penciptaannya. Sedangkan, pengarang teks drama, sebagai anggota masyarakat, terikat pada status sosial tertentu. Segi bahasa (medium) sebuah teks drama merupakan alat pengutaraan pendapat atau propaganda (ideologis) kepada masyarakat (penonton) (Harymawan, 1988:6).
Di samping itu, menurut Faruk (2005:78), kesusastraan tidak lagi dipandang semata-mata sebagai gejala kedua yang tergantung dan ditentukan oleh masyarakat kelas sebagai infrastruktur, melainkan dipahami sebagai kekuatan sosial, politik, dan kultural yang berdiri sendiri, yang mempunyai sistem tersendiri, meskipun tidak terlepas dari infrastrukturnya.
Keberagaman lingkungan pergaulan sosial di Indonesia memberikan banyak peluang untuk mengembangkan dan memperkuat keberdirian negara-bangsa Indonesia menghadapi perubahan-perubahan. Dengan pengalaman sejarah yang panjang, negara-bangsa Indonesia, terutama elit intelektual dan politik, menyadari potensinya untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan itu. Menurut Anderson (dalam Faruk, 2001:179), bangsa-bangsa selalu membayangkan secara samar-samar suatu masa lalu yang tidak terlupakan, dan bahkan meluncurkan masa depan yang tidak terbatas. Dengan kata lain, suatu bangsa hendak menyadari untuk mampu melakukan tindakan adaptatif terhadap perubahan dengan menilik masa lalu untuk mempersiapkan hal-hal yang akan dan harus dilakukan. Di lain hal, tindakan adaptatif itu juga perlu untuk menyatukan berbagai kepentingan faksional ke dalam suatu kehendak kolektif, yang disebut oleh Gramsci sebagai blok historis (historical bloc). Blok historis merupakan kesatuan segala dimensi masyarakat dalam kehidupan kelas-kelas sosial (Simon, 2004:29).
Hal di atas menunjukkan bahwa pengarang (teks drama), sebagai bagian dari masyarakat, telah memotret situasi sosial yang terjadi di dalam negara-bangsa. Melalui pandangan pengarang, problematika kehidupan diangkat, ditanggapi, dan disajikan ke dalam suatu teks drama. Hal tersebut menyatakan bahwa teks drama, yang juga suatu institusi sosial, mampu memberi inspirasi, informasi, instigasi (dorongan), dan bahkan bentuk insinuasi (sindiran) serta instruksi kepada masyarakat agar lebih siap dan menyadari dalam menghadapi setiap perubahan di lingkungannya. Hal tersebut mencerminkan pengarang teks drama berusaha melakukan tindakan adaptatif sebagai upaya menghadapi perubahan berikut konflik di dalamnya. Teks drama mampu menjadi alat pengutaraan pendapat (propaganda) sebagaimana telah disebutkan di atas. Dengan begitu, teks drama dan pengarangnya mempunyai peranan penting dalam lingkungan sosial-budaya beserta perkembangannya.

2. Munculnya Teks Drama Modern
Perkembangan konsep teater Barat di Indonesia sekitar pertengahan abad ke-19 di kalangan masyarakat Belanda dengan segera berkembang di kalangan masyarakat Tionghoa, sekaligus juga di lingkungan masyarakat Indonesia, terutama masyarakat perkotaan (Sumardjo, 2004-b:240). Perkembangan ini disertai pula dengan kemunculan berikut perkembangan kepenulisan teks drama. Penggunaan teks drama dalam menggelar pertunjukan teater inilah yang membedakan ciri teater Barat (modern) dengan teater tradisional Indonesia.
Munculnya teks drama sebagai bagian dari perkembangan karya sastra yang modern di Indonesia beriringan dengan perkembangan masyarakat (kota) Indonesia yang bersifat plural, ekonomis, dan modern, terutama pada akhir abad ke-19. Masyarakat perkotaan saat itu terdiri atas kelompok-kelompok sosial Eropa (Belanda), Indo-Eropa, Arab, Cina (saat itu belum mengenal istilah ’tiongkok’ maupun ’tionghoa’), dan Indonesia (pribumi) (Sumardjo, 2004-b:242). Kelompok sosial Belanda dan Cina memiliki kedudukan yang lebih dominan dari kelompok sosial lainnya. Kelompok sosial Belanda dominan pada bidang politik, sedangkan kelompok sosial Cina pada bidang ekonomi. Dua kelompok sosial ini kurang mengenal bentuk asli teater Indonesia (teater tradisional), sehingga dapat dinyatakan bahwa dua kelompok tersebut lebih bergerak pada perkembangan teater modern Indonesia, terutama kepenulisan teks drama.
Kelompok sosial Cina sendiri terdiri atas golongan totok dan golongan peranakan. Golongan totok merupakan orang-orang yang murni lahir dari keturunan asli Cina. Golongan ini masih menggunakan bahasa Cina sebagai bahasa keseharian. Sedangkan, golongan peranakan merupakan orang-orang dilahirkan oleh orang tua yang salah satunya adalah orang pribumi, kebanyakan dari pihak ibu. Bahasa yang umum digunakan golongan ini adalah bahasa lokal atau daerah (wilayah individu itu berada) dan tidak sedikit yang berbahasa Melayu, terutama Melayu-Rendah. Jumlah golongan peranakan jauh lebih besar daripada golongan totok. Sebagian besar golongan peranakan ini telah terputus kultur hidupnya dengan Cina sekaligus belum begitu mengenal kultur Indonesia (Sumardjo, 2004-b:242).
Golongan peranakan inilah yang paling berperan penting bagi perkembangan teater modern dan kesusastraan modern, terutama teks drama, di Indonesia (cf. Suryadinata, 1996:52—56). Nama-nama tokoh, seperti Yap Goan Tay sebagai pendiri Komedie Stambul (kelompok perintis perkembangan teater modern di Indonesia); Tio Tik Djien sebagai pemilik modal dan pimpinan Miss Riboet’s Orion (kelompok peletak dasar teater modern Indonesia dan pelopor penggunaan teks drama asli, bukan terjemahan atau saduran); Nyoo Cheong Seng yang menjadi penulis teks drama untuk Miss Riboet’s Orion, sekaligus pada masa selanjutnya berperan penting dalam perkembangan film di Indonesia; Lauw Giok Lan sebagai pemikir, pengamat teater, penerjemah teks drama Eropa, dan kritikus teater Indonesia modern masa awal; dan Kwee Tek Hoay yang mampu mengarang banyak novel dan teks drama sekaligus seorang agamawan, pengamat sosial-politik, dan pembela kepentingan perempuan; kesemua tokoh tersebut berpengaruh besar dalam perkembangan teater dan teks drama pada khususnya serta perkembangan budaya dan masyarakat Indonesia yang modern pada umumnya.


3. Peran Masyarakat Tionghoa
Permulaan timbulnya penciptaan dan penggunaan teks drama dalam pertunjukan teater dapat ditelusuri mulai dari munculnya teks drama Kapitein Item. Teks drama ini dapat dikatakan sebagai teks drama berbahasa Melayu-Rendah yang tertua di Indonesia (Sumardjo, 2004-a:139). Kapitein Item yang tidak diketahui penulisnya muncul pada 1898 dan kemudian dipertunjukkan di dalam schouwburg (gedung pertunjukan) di Batavia saat Wilhelmina dari Belanda dinisbatkan sebagai ratu pada tahun itu juga.
Pada 1901 F. Wiggers tercatat sebagai penulis teks drama pertama melalui karyanya yang berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno. Teks drama berbentuk satu babak tersebut diterbitkan oleh Oeij Thaij Hin, Batavia (Jakarta) dalam kemasan buku saku setebal 56 halaman (Sumardjo, 2004-a:121). Akan tetapi, teks drama berbahasa Melayu-Rendah dan berstruktur dramatik yang tertata tersebut tidak jelas keperluan kepenulisannya (Sumardjo, 2004-b:242). Menurut Sumardjo (2004-a:129), meskipun ditulis seperti cara penulisan teks drama klasik Eropa, karya F. Wiggers ini cenderung semata-mata untuk keperluan bacaan sastra, bukan untuk bahan pertunjukan teater.
Sebelumnya, pada awal 1900 didirikan Tiong Hoa Hwe Koan, suatu organisasi yang bermaksud mengembalikan adat-istiadat leluhur di kalangan masyarakat Tionghoa. Selanjutnya, pada 3 Juni 1900 Tiong Hoa Hwe Koan dinyatakan sebagai organisasi yang sah dan berketetapan hukum oleh pemerintah Hindia Belanda (Hoay, 2001:424). Melalui berdirinya Tiong Hoa Hwe Koan ini, terutama bagi masyarakat Cina, akhirnya dikenal luas istilah ’tionghoa’ dan ’tiongkok’ (Hoay, 2001:412). Istilah ’tionghoa’ mengacu pada keetnisan (Cina), sedangkan ’tiongkok’ mengacu pada tanah asal. Orang Tionghoa adalah orang Tiongkok atau keturunan orang Tiongkok yang bermukim di Indonesia. Di lain hal, Tiong Hoa Hwe Koan juga berperan penting dalam memunculkan orang-orang Tionghoa yang terpelajar, termasuk para sastrawan, yang turut berperan dalam dinamika sosial-politik saat itu.
Pada 1912 terbit teks drama yang berjudul lengkap Boekoe Rol Opera Derma T.H.D.H.H di Tangerang, Tjerita Harta jang Berbahaja: Satoe Nasehat jang Baek aken sebagi Toeladan (Sumardjo, 2004-a:129). T.H.D.H.H di atas merupakan singkatan dari Tiong Hoa Djien Ho Hie, suatu nama kelompok opera derma dari Tangerang. Teks drama yang tidak diketahui pengarangnya ini diterbitkan oleh Typ. Hoa Siang in Kiok, Batavia. Walaupun tidak diketahui pengarangnya, buku ini dicetak untuk dijual menjelang pertunjukannya, sehingga dapat disimpulkan bahwa teks drama di atas merupakan untuk keperluan pertunjukan (Sumardjo, 2004-a:133).
Selanjutnya, pada 1913 Electriche Drukkerij Tjiong Keon Bie, Batavia menerbitkan teks drama setebal 172 halaman karya terjemahan Lauw Giok Lan yang berjudul lengkap Karina-Adinda, Lelakon Komedie Hindia Timoer dalem Tiga Bagian (Sumardjo, 2004-a:133). Lauw Giok Lan menerjemahkan teks drama tersebut dari teks drama Karina-Adinda, Oost Indisch Zedenspel in 3 Bendrijven karya Hans van de Wall atau yang biasa dikenal dengan nama Victor Ido (Sumardjo, 2004-a:133; cf. Oemarjati, 1970:28). Menurut Nio Joe Lan (dalam Oemarjati, 1970:28), teks drama di atas ditulis untuk keperluan kelompok teater Dardanella. Dardanella beserta generasi sebelumnya, yaitu Teater Bangsawan, Komedie Stamboel, Opera Derma, dan Miss Riboet’s Orion, adalah perintis konsep teater modern di Indonesia. Lauw Giok Lan juga adalah perintis penulisan teks drama berbahasa Melayu-Rendah di kalangan Tionghoa, sekaligus yang membuat Kwee Tek Hoay tertarik untuk mengarang teks drama. Lauw Giok Lan menyatakan seperti yang dikutip oleh Sumardjo (2004-a:134),
”Dengen rapinya kita, bangsa Tionghoa-peranakan, empunya pertunjukan komedie laen bangsa, jadi bisa dapet perasaan, bahuwa dengan sasunggunya kita suda bertindak di jalanan kamajuan.”
Pada akhirnya, Kwee Tek Hoay tergerak untuk menulis teks drama. Teks drama pertama Kwee Tek Hoay berjudul Allah yang Palsu yang ditulis pada 1919. Berbeda dengan Lauw Giok Lan yang menerjemahkan teks drama secara utuh, Kwee Tek Hoay menyadurnya. Allah yang Palsu adalah saduran dari cerpen karya Edward Phillip Oppenheim yang berjudul The False Gods (Sumardjo, 2004-b:112). Dengan begitu, teks drama pertama karya Kwee Tek Hoay ini dapat dinyatakan asli sekaligus menjadi pelopor dan tonggak penulisan teks drama untuk keperluan pertunjukan teater dalam sastra Indonesia modern. Menurut Soemardjo (2004-b:243), teks drama Allah yang Palsu ini menunjukkan suatu bentuk teks drama yang benar-benar modern. Hal tersebut terlihat dari segi dramaturginya (dramatic art), pencantuman nama tokoh, dialog, penggambaran latar ruang, laku tokoh, dan konvensi pembabakan menurut Aristotles. Dengan kata lain, teks drama ini memiliki premis, karakter, dan plot, serta memuat ketegangan (spanning) dalam ceritanya.
Teks drama Allah yang Palsu juga diterbitkan oleh Electriche Drukkerij Tjiong Keon Bie, Batavia pada 1919 sebanyak 1000 eksemplar (Sumardjo, 2004-a:140). Inti cerita Allah yang Palsu ini mengenai kakak-adik yang memiliki karakter yang bertolak belakang. Tan Kioe Lie, kakak Tan Kioe Gie, merupakan seorang yang egois, pembohong, dan kikir. Sedangkan, Tan Kioe Gie adalah orang yang jujur, sederhana, dan dermawan. Keduanya tinggal di Cicurug, Bogor yang kemudian merantau ke Batavia. Teks drama yang bersifat didaktis ini akhirnya memunculkan Tan Kioe Gie sebagai ”pemenang”.
Yang perlu ditekankan di sini adalah teks drama Allah yang Palsu karya Kwee Tek Hoay yang telah berciri-ciri sebuah teks drama modern ini telah muncul tujuh tahun sebelum munculnya teks drama Bebasari karya Rustam Effendi. Bebasari yang muncul pada 1926 telah lama dianggap sebagai teks drama pertama dalam sastra Indonesia modern. Melihat kenyataan ini patut dilakukan penelitian terhadap kedudukan sastra Melayu-Tionghoa yang disisihkan sebagai bagian integral dalam sastra Indonesia modern.
Kepengarangan Kwee Tek Hoay dalam penulisan teks drama belum berhenti. Pada Januari 1926, tahun yang sama dengan munculnya Bebasari, Kwee Tek Hoay telah merampungkan karya yang kedua, yaitu Korbannya Kong-Ek; Tooneelstuk dalem Ampat Bagian. Teks drama yang diterbitkan oleh Hap Sing Kong Sie, Semarang pada tahun yang sama ini merupakan saduran dari teks drama An Enemy of the People (1862) yang diciptakan oleh Henrik Ibsen (Sidharta, 2004:10). Sebelumnya, pada 1923 Ang Jan Goan telah menerjemahkan teks drama karya Ibsen tersebut ke dalam bahasa Melayu-Rendah dengan judul Moesoehnja Orang Banjak (Sumardjo, 2004-b:278). Menurut Salmon (dalam Suryadinata, 1996:16), Kwee Tek Hoay menyadur teks drama dari Ibsen tersebut terutama pada plotnya. Oleh karena itu, Korbannya Kong-Ek dapat dinyatakan sebagai karya Kwee Tek Hoay, seperti halnya Allah yang Palsu.
Pada tahun-tahun berikutnya produktivitas kepenulisan teks drama berkembang pesat. Hal itu disebabkan mulai berkembang pula kesadaran dan kebutuhan masyarakat mendapatkan pendidikan. Lebih dari itu, terutama pada 1928, terselenggaranya Kongres Pemuda I dan II yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda makin menggugurkan sifat-sifat kedaerahan dalam masyarakat, termasuk juga masyarakat Tionghoa. Rasa kesatuan Indonesia itu semakin memperluas ruang gerak pendidikan, pers, dan institusi-institusi sosial lainnya untuk menyebarkan semangat meraih kemerdekaan dan kecerdasan bangsa. Walaupun riak-riak kecil diskriminasi etnis dan strategi koersif pemerintah masih ditemui.

4. Kesimpulan
Melalui tulisan ini dapat diamati bahwa peran masyarakat Tionghoa dalam perkembangan teks drama modern di Indonesia sangat besar, bahkan boleh dikatakan sangat dominan. Pergerakan masyarakat Tionghoa di bidang penulisan teks drama juga diiringi dengan perkembangan teater modern Indonesia. Teks drama dan teater merupakan institusi sosial yang mampu berperan dalam membentuk dan mengubah formasi sosial. Dengan mengamati sejarah teks drama modern di Indonesia, masyarakat mutakhir Indonesia dapat diilhami oleh semangat kreatif yang diteladankan oleh masyarakat Tionghoa saat itu. Kreativitas atau daya cipta yang produktif dan aktif mulai luntur dalam dinamika sosial di Indonesia. Tindakan-tindakan yang cenderung konsumtif dan ’terima pakai’ lebih dipilih oleh masyarakat Indonesia sekarang ini. Padahal, kekuatan kreatif dapat memberikan daya tahan lebih dalam menghadapi perubahan-perubahan modern yang serba cepat seperti sekarang.



DAFTAR PUSTAKA

Faruk. 2001. “Menghidupkan Sastra Peranakan Cina”. Beyond Imagination: Sastra Mutakhir dan Ideologi. Faruk (Ed.). Yogyakarta: Gama Media.

____. 2005. Pengantar Sosiologi Sastra. Cetakan ke-4. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Harymawan, R.M.A. 1988. Dramaturgi. Bandung: Rosda.

Hoay, Kwee Tek. 2001. ”Asal Mulanya Timbul Pergerakan Tionghoa yang Modern di Indonesia”. Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 4. Marcus A.S. dan Pax Benedianto. (Ed.). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Oemarjati, Boen Sri. 1970. Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.

Simon, Roger. 2004. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Diterjemahkan oleh Kamdani dan Imam Baehaqi. Cetakan ke-4. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sumardjo, Jakob. 2004-a. Kesusasteraan Melayu-Rendah Masa Awal. Yogyakarta: Galang Press.

_____________. 2004-b. Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia. Bandung: STSI Press.

Suryadinata, Leo. 1996. ”Dari Sastra Peranakan ke Sastra Indonesia”. Sastra Peranakan Tionghoa. Leo Suryadinata (Ed.). Jakarta: Grasindo.

DASAR PEMIKIRAN ANTONIO GRAMSCI TENTANG HEGEMONI

1. Pendahuluan
Karya sastra, tidak terkecuali drama, memiliki pesan yang tersembunyi di balik teks-teksnya. Dengan kata lain, menurut Loewenthal (dalam Kleden, 2004:45), sastra mengandung banyak lapisan makna yang beberapa di antaranya memang dimaksudkan pengarang dan beberapa pula tidak dimaksudkan. Karya sastra mengandung gagasan yang dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap sosial tertentu, bahkan dapat digunakan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu. Pengarang memberikan makna lewat kenyataan yang diciptakannya secara bebas dengan syarat tetap dapat dipahami oleh pembaca dalam rangka konvensi yang tersedia baginya, yaitu konvensi bahasa, konvensi sosio-budaya, dan konvensi sastra (Teeuw, 2003: 203).
Menurut Kleden (2004:45), sampai tingkat tertentu, sastra melukiskan kecenderungan-kecenderungan utama dalam masyarakatnya, baik karena sebuah teks dengan sadar (atau tidak sadar) mengungkapkannya; maupun karena teks tersebut dengan sengaja (atau tanpa sengaja) menghindari atau mengelabuinya. Sebuah cerita bisa saja melukiskan situasi kejiwaan individu, tetapi situasi kejiwaan tersebut dapat menjadi metafor (yang berhasil atau gagal) untuk keadaan masyarakat tempat individu bersangkutan hidup. Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (sosial) ini disebut sosiologi sastra (Damono, 1984:2).

2. Sosiologi dan Sastra
Swingewood (1972 dalam Faruk, 2005:1) mendefinisikan sosiologi sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat; studi mengenai lembaga-lembaga dan proses sosial. Sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai cara masyarakat dimungkinkan, cara kerja, dan alasan masyarakat itu bertahan hidup. Lebih lanjut, lewat penelitian yang ketat mengenai lembaga-lembaga sosial, agama, ekonomi, politik, dan keluarga, yang secara bersama-sama membentuk struktur sosial, sosiologi memperoleh gambaran mengenai cara-cara manusia menyesuaikan dirinya dengan dan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu. Selain itu, sosiologi juga memperoleh gambaran mengenai mekanisme sosialisasi dan proses belajar secara kultural. Dengan semua itu, individu-individu dialokasikan pada peranan-peranan tertentu sekaligus menerimanya dalam struktur sosial itu.
Konsep stabilitas sosial, kesinambungan antarmasyarakat yang berbeda, dan cara individu berlembaga sosial memiliki hubungan dengan aspek sosial di atas sekaligus sebagai suatu hal yang diperlukan dan benar (Swingewood, 1972 dalam Faruk, 2005:1). Sebagai ilmu pengetahuan yang multiparadigma, sosiologi juga berada dalam usaha merebut hegemoni dalam lapangan sosiologi secara keseluruhan (Ritzer, 1975 dalam Faruk, 2005:2)
Seperti halnya sosiologi, sastra juga berkenaan dengan manusia dalam masyarakat. Dengan kata lain, sastra berhubungan dengan usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan, bahkan, mengubah masyarakat (Damono, 1984:7). Menurut Kleden (2004:8), sebuah karya sastra tidak dapat mengelak dari kondisi masyarakat dan situasi kebudayaan tempat karya itu dihasilkan. Berger dan Luckman (dalam Teeuw, 2003:186) menyatakan bahwa kehidupan sehari-hari menyajikan dirinya sebagai kenyataan yang ditafsirkan oleh manusia dan yang bermakna secara subjektif bagi mereka sebagai dunia yang koheren. Teeuw (2003:186) sendiri menyatakan bahwa interpretasi terjadi lewat struktur sosial yang menyediakan sejumlah peranan yang masing-masing ada stereotipnya bagi anggota masyarakat.
Menurut Pradopo (2002:22), sosiologi sastra berdasar pada prinsip bahwa karya sastra (kesusastraan) merupakan refleksi masyarakat pada zaman karya sastra itu ditulis; yaitu masyarakat yang melingkungi penulis. Hal itu disebabkan oleh penulis, sebagai anggota masyarakat, tidak dapat lepas dari masyarakatnya. Taine (Pradopo, 2002:22) memperlakukan karya sastra berdasarkan tiga faktor: bangsa (ras), lingkungan masyarakat, dan momen sejarah pengarangnya.
Dari sejumlah pernyataan di atas dan sebagaimana telah dinyatakan pada latar belakang penelitian, sebuah kritik dalam hubungannya dengan suatu terapan sosial-kritis diperlukan di dalam penelitian ini. Hubungan-hubungan ketergantungan yang muncul dari relasi kekerasan dan dominasi, yang dibenarkan dan disembunyikan secara ideologis (sehingga tidak lagi menampakkan dirinya sebagai hubungan ketergantungan) merupakan jalan utama menuju suatu analisis kritis. Menurut Kuntowijoyo (1987:145), dalam segi ketergantungan dan ketidaktergantungannya, hubungan langsung maupun tidak langsung antara karya sastra sebagai sistem simbol dan sistem sosial menentukan suatu arah dan peranannya. Karya sastra dibentuk dari proses strukturasi nilai-nilai yang terjadi pada realitas masyarakat. Hubungan antara karya sastra dengan ideologi masyarakat bersifat dialektik. Karya sastra lahir dan dibentuk oleh ideologi masyarakat, sedangkan ideologi masyarakat juga dipengaruhi oleh karya sastra. Oleh karena itu, sosiologi sastra hadir sebagai disiplin ilmu yang berusaha memahami dan menjelaskan arah dan peranan fenomena dua struktur tersebut (Faruk, 2005:19).

3. Gramsci dalam Sosiologi Sastra
Salah satu teori dalam sosiologi sastra yang hadir di dalam dialektika kritik sastra Indonesia adalah teori yang dikemukakan oleh Antonio Gramsci (1891—1937). Sosiologi sastra dalam perspektif Gramsci tidak hanya mengakui kompleksitas hubungan antara sastra sebagai superstruktur dengan struktur kelas ekonomi sebagai infrastrukturnya. Peranan kesadaran dalam menentukan tindakan manusia dan arti penting hegemoni ideologis dalam memelihara hubungan-hubungan sosial merupakan unsur utama pemikiran Gramsci (Bellamy, 1990:169). Pemikiran Gramsci tidak hanya mengakui eksistensi sastra sebagai lembaga sosial yang relatif otonom, melainkan juga mempunyai kemungkinan bersifat formatif terhadap masyarakat (Faruk, 2005:61). Sebelum menilik bentuk-bentuk gagasan yang dirumuskan Gramsci, terlebih dahulu perlu dijelaskan hal-hal yang mendasari pemikiran Gramsci itu.

4. Dasar Pemikiran Gramsci
Gramsci menuliskan pemikirannya dengan bertitik tolak pada kritiknya terhadap pandangan marxisme ortodoks, terutama kerangka teoretis Nicolai Bukharin. Kerangka teoretis Bukharin tersebut bermaksud sebagai sebuah karya tentang marxisme-leninisme untuk para kader partai komunis. Bukharin menulis ajaran-ajaran marxisme-leninisme sebagai pandangan dunia proletariat, sekaligus upaya Bukharin menyatukan sosiologi kontemporer dalam karyanya itu. Tindakan Bukharin itu bertujuan untuk menunjukkan bahwa materialisme sejarah adalah sosiologi tentang proletariat dengan kadar kepastian ilmiah (Patria & Arief, 2003:60—62).
Gramsci menolak pandangan tersebut dan menganggap materialisme sejarah ortodoks itu telah mereduksi metode dialektik kritis terhadap masyarakat menjadi seperangkat prinsip-prinsip partai yang bersifat dogmatis dengan mengorbankan pembebasan diri proletariat. Penolakan Gramsci itu dipahami dalam pengertian metafisika tradisional (Patria & Arief, 2003:58). Bahkan, Gramsci berkeberatan dengan maksud Bukharin yang dibuat untuk komunitas pembaca elit yang disebut Gramsci “bukan intelektual profesional”. Akibat dari hal tersebut, menurut Gramsci, tercipta kekeliruan besar karena mengabaikan “filsafat massa rakyat” (filsafat yang lahir dari akal sehat rakyat sendiri). Dengan kata lain, pandangan Bukharin tersebut adalah sebuah sistem filsafat (materialisme sejarah) yang asing dan tidak dikenal oleh massa rakyat dan hendak dipaksakan begitu saja dari luar kesadaran diri proletar.
Bagi Gramsci, kesadaran politik proletariat harus dibangun melalui kepercayaan-kepercayaan dan akal sehat kaum proletar, sebagaimana terungkap dalam cerita-cerita dan agama rakyat, dan bukan semata-mata dipaksakan dari pihak di luar kelompoknya. Hal tersebut merupakan cerminan kekuatan kultural kohesif atau hegemoni yang dijalankan oleh kelas-kelas yang berkuasa. Hegemoni selalu berhubungan dengan penyusunan kekuatan negara sebagai kelas diktator (Simon, 2004:30; Williams, 1960: 587, dalam Patria & Arief, 2003:32; cf. Faruk, 2005:78—79). Hegemoni juga merujuk pada kedudukan ideologis satu atau lebih kelompok atau kelas dalam masyarakat sipil yang lebih tinggi dari yang lainnya (Bellamy, 1990:185).
Perlu ditekankan bahwa, sebelum Bukharin, Gramsci juga menanggapi pemikiran-pemikiran Karl Heindrich Marx. Pada beberapa sisi, Gramsci menonjolkan gagasan-gagasan laten Marx. Di sisi yang lain, Gramsci menolak beberapa anggapan Marx. Pemikiran Marx bersandar pada kekuatan manusia semata-mata sebagai pengondisi kehidupan yang kemudian harus menaati usaha-usaha bersama atas dasar kepunyaan bersama (Masnur, 2003:7—8).
Gagasan Marx sendiri merupakan kritik terhadap filsafat Hegelian Jerman (yang dicetuskan oleh Georg Wilhelm Friedrich Hegel), ekonomi politik Adam Smith dan David Ricardo, dan pemikiran politik Pierre-Joseph Proudhon. Marx melakukan analisis terhadap faktor makroekonomi, sehingga pikiran ekonomi-politiknya lebih menonjol. Dari hal itu, Marx mengemukakannya dalam Das Kapital dengan dibantu Frederick Engels mulai 1844 di Paris. Yang dijadikan tujuan Marx adalah membangun masyarakat dengan kebebasannya terhadap tekanan ekonomi kapitalis yang hanya menuntut percepatan produksi dengan memeras tenaga manusia secara sia-sia (Masnur, 2003:9). Inilah benih-benih pemikiran khas Marx, sekaligus Engels: materialisme sejarah (historical materialism).
Prinsip-prinsip dasar dalam materialisme sejarah adalah kenyataan-kenyataan dasar bagi awal mula proses penafkahan pada diri manusia sebelum keterlibatan manusia, antara lain, di bidang pengetahuan, politik, seni, dan sastra. Menurut Masnur (2003:12), logika inilah yang dipakai oleh Marx dan Engels dalam memandang negara sebagai cerminan dari kebutuhan dasar manusia, dengan maksud keharusan negara untuk bersifat sosialistik. Lebih lanjut, negara menjadi kumpulan orang-orang yang berderajat sama dengan status dan kepemilikan yang sama pula.
Basis struktur, berupa kegiatan produksi, pada formasi sosial itu menentukan bangunan atasnya, yaitu cerminan keadaan struktur bawah. Negara adalah alat untuk menjamin kedudukan kelas atas, yang fungsinya secara politik meredam usaha-usaha kelas bawah untuk membebaskan diri dari pengaruh kelas atas. Sedangkan, ”superstruktur ideologis”—istilah marxis bagi pandangan moral, filsafat, hukum, agama, estetika, dan lain-lainnya—berfungsi untuk memberikan legitimasi pada hubungan kekuasaan itu (Magnis-Suseno, 1922:266 dalam Patria & Arief, 2003:4). Dengan kata lain, perkembangan masyarakat ditentukan oleh bidang produksi sebagai infrastruktur. Sedangkan, superstruktur diasumsikan merupakan hasil dari kondisi material objektif (hubungan-hubungan produksi). Hal tersebut itulah yang kemudian diperdebatkan dan dikoreksi oleh Gramsci melalui ide sentralnya: hegemoni.
Penolakan Gramsci pada tradisi marxian ortodoks dan penekanan sebaliknya pada faktor-faktor budaya dan ideologi disebabkan oleh situasi Italia sendiri, negara kelahiran Gramsci, sebagaimana negara-negara kapitalis lain yang bersistem borjuis dan memiliki sumber stabilitas yang kuat. Fokus perhatian Gramsci pada latar belakang politik tersebut muncul dari situasi politik ketika Gramsci menjadi pemimpin intelektual dari gerakan massa proletar selama perang dunia pertama dan masa sesudah itu di Turin, Italia. Bagi Gramsci, politik bukanlah sekedar cara untuk mencapai kekuasaan. Lebih dari itu, politik adalah cara mengakomodasikan semua kepentingan dari kelompok-kelompok masyarakat tersebut dalam sebuah aktivitas bersinergi. Ketika suatu kelompok mampu melakukan hal tersebut, kelompok itu akan berhasil mendapatkan kekuasaan. Selama kelompok itu mampu melakukannya, maka kekuasaan pun tetap dapat dipertahankan (cf. Iskandar, 2003:54—55).
Italia, termasuk negara kapitalis yang lain setelah terjadi krisis ekonomi kapitalis, berharap adanya revolusi sosialis. Pertarungan politik partai, baik Kiri maupun Kanan membuahkan kemenangan kepada fasisme pada 1922 dan melenyapnya hak-hak politik. Sebagai anggota kunci dari Partai Sosialis Italia, dan kemudian menjadi Partai Komunis Italia, Gramsci melihat kegagalan gerakan massa buruh secara revolusioner dan munculnya fasisme reaksioner (Patria & Arief, 2003:13). Rangkaian kekalahan dan kegagalan ini telah menyebabkan keraguan dalam diri Gramsci terhadap kredibilitas teoretis aksi revolusi. Berdasarkan kenyataan dan kesulitan seperti itu, Gramsci lalu berusaha menganalisis persoalan dengan mencari strategi yang pas untuk menyukseskan revolusi sosialis di Eropa Barat pada umumnya, di Italia pada khususnya.
Rumusan teori yang dikemukakan oleh Antonio Gramsci dapat dinyatakan sebagai teori yang komprehensif, tepat-menyeluruh, dan representatif untuk diterapkan di dalam penelitian ini. Menurut Gramsci (Bellamy, 1990:179), teori tidak saja memberikan pengetahuan tentang proses-proses sosial, namun juga menyediakan landasan bagi tindakan yang lebih efektif. Rumusan teori Gramsci ini dikenal melalui pilihan kumpulan catatan harian Gramsci pada waktu dipenjara antara tahun 1929—1935. Pilihan catatan itu diberi Quadreni del Carcere atau Selection from the Prison Notebooks (Fakih, 2004 dalam Simon, 2004:vii). Pribadi Gramsci sendiri tidak mengetahui bahwa catatannya, The Prison Notebooks, dipublikasikan. Catatan tersebut sebenarnya ditulis oleh Gramsci secara terpisah, tidak bermaksud untuk dipublikasikan, dan bahkan belum terselesaikan, sebagaimana Das Kapital milik Marx. Akan tetapi, gagasan-gagasan Gramsci di dalamnya merupakan sumbangan penting dalam pemikiran dunia.

5. Kesimpulan
Karya sastra tidak hadir begitu saja, tidak mungkin muncul dalam situasi kekosongan budaya. Karya sastra tidak dapat terelakkan dari lingkungan sosio-historis, terutama dari sudut pengarangnya. Gramsci memberikan persepsi bahwa superstruktur ditentukan oleh infrastruktur. Akan tetapi, tidak hanya itu, Gramsci melalui teori hegemoni-nya memungkinkan karya sastra, selain sebagai refleksi masyarakat, dalam taraf tertentu dapat bersifat formatif terhadap masyarakat.
Gramsci telah memberikan sudut pandang yang berbeda berkenaan dengan kajian sosial terhadap karya sastra. Sastra Indonesia, yang telah dihegemoni oleh bentuk kesusastraan tertentu, atau bahkan bentuk sosial tertentu, mendapat determinasi dari faktor-faktor kultural tertentu. Mobilitas sastra Indonesia tidak bergerak begitu saja, melainkan dibangun melalui berbagai wajah kebudayaan, baik dari dalam maupun luar. Dengan demikian, gagasan hegemoni dari Gramsci telah memberikan manfaat dan ruang yang segar sekaligus berbeda dalam kajian sastra Indonesia.



DAFTAR PUSTAKA

Bellamy, Richard. 1990. ”Antonio Gramsci”. Teori Sosial Modern: Perspektif Itali. Jakarta: LP3ES

Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Faruk. 2005. Pengantar Sosiologi Sastra. Cetakan ke-4. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Iskandar, Dedi. 2003. ”Mengenal dan Mengritik Gramsci”. Pemikiran-pemikiran Revolusioner. Saiful Arif (Ed.). Cetakan ke-2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kleden, Ignas. 2004. Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-esai Sastra dan Budaya. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Tiara Wacana Yogya.

Masnur, Muhammad Badi’ Zamanil. 2003. ”Perdebatan Revolusi Marx dalam Misteri Kapitalisme”. Pemikiran-pemikiran Revolusioner. Saiful Arif (Ed.). Cetakan ke-2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Patria, Nezar dan Andi Arief. 2003. Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni. Cetakan ke-2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Simon, Roger. 2004. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Diterjemahkan oleh Kamdani dan Imam Baehaqi. Cetakan ke-4. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.

Teeuw, A. 2003. Sastera dan Ilmu Sastera. Cetakan ke-3. Jakarta: Pustaka Jaya.